Dear rekan-rekan Diktiers, 
 Mungkin     sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang  melibatkan    artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa  Haque.    Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment  Indonesia    tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat  perang di    media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta  istrinya,  Memes,   dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak  banyak yang  paham,   bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan  Marissa  Haque yang   dituding oleh seseorang di media Twitter juga.  Tuduhan  tersebut   mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program  S3 IPB  sebenarnya   tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah,  masalah menjadi   berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke   konflik pribadi  antara  Marissa Haque dengan keluarga Addie MS. 
Bagi  yang  ingin memahami   kronologis kisahnya, silakan  mengunjungi/membaca   notes yang saya  tulis di Facebook saya yang  berjudul "Sebuah Catatan tentang Perang Kamseupay". 
Nah,  di sini  saya tidak akan mengupas masalah kehidupan selebritis   kita yang   memang seringkali tidak bisa masuk dalam nalar saya. Saya   ingin   menyoroti soal tuduhan kepada Marissa Haque tentang disertasinya;    lebih  tepatnya menyoroti tentang "siapa sebenarnya yang melontarkan tuduhan tersebut".
Mungkin     sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang  melibatkan    artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa  Haque.    Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment  Indonesia    tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat  perang di    media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta  istrinya,  Memes,   dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak  banyak yang  paham,   bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan  Marissa  Haque yang   dituding oleh seseorang di media Twitter juga.  Tuduhan  tersebut   mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program  S3 IPB  sebenarnya   tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah,  masalah menjadi   berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke   konflik pribadi  antara  Marissa Haque dengan keluarga Addie MS. 
Bagi  yang  ingin memahami   kronologis kisahnya, silakan  mengunjungi/membaca   notes yang saya  tulis di Facebook saya yang  berjudul "Sebuah Catatan tentang Perang Kamseupay". 
Nah,  di sini  saya tidak akan mengupas masalah kehidupan selebritis   kita yang   memang seringkali tidak bisa masuk dalam nalar saya. Saya   ingin   menyoroti soal tuduhan kepada Marissa Haque tentang disertasinya;    lebih  tepatnya menyoroti tentang "siapa sebenarnya yang melontarkan tuduhan tersebut".
 
Tuduhan tersebut dilontarkan oleh seseorang bernama Dyah Kartika Rini Djoemadi.     Siapa beliau..? Beliau adalah aktivis di berbagai organisasi  profesi,    termasuk DPP HIPMI dan KADIN Indonesia. Beliau juga (pernah)  aktif di    Partai Amanat Nasional dan pernah menjabat sebagai Ketua  Departemen    Komunikasi Kreatif PP PAN pada sekitar 2007. Beliau  memiliki perusahaan    konsultan kebijakan publik bernama SpinDoctor  Indonesia. Dan beliau   juga  (pernah) menjabat sebagai senior fellows/experts  di   Paramadina  Public Policy Institute, serta sebagai Dosen  Pascasarjana di   perguruan  tinggi di Jakarta, termasuk di Universitas  Indonesia.
Yang menjadi persoalan  adalah bahwa Ibu Dyah Kartika Rini Djoemadi - atau biasa dipanggil  Kartika Djoemadi atau Dee Dee Kartika - dalam berbagai kesempatan menyebut  dirinya sebagai lulusan PhD di bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van Amsterdam, Belanda. 
Hal ini bisa teman-teman baca dan lihat sendiri dalam print-out     berbagai situs di Internet yang saya rangkum dan saya attach di     postingan ini. Pengakuan sebagai lulusan PhD dari Amsterdam ini cukup     aneh, karena pada April 2007, beliau masih menyebut dirinya sedang     “menyelesaikan Program Doktoral di bidang Ilmu Komunikasi di Universitas     Indonesia” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa4”), dan pada Februari 2009, beliau juga menyatakan “masih menyelesaikan disertasi di S3 Komunikasi UI” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa5”). 

 
Namun,  pada bulan September 2011, di website Paramadina Public Policy Institute, pada halaman profil Senior Fellows/Experts di Institut tersebut, beliau menyebut diri sebagai PhD in Macro Economic from University van Amsterdam, the Netherland (lihat attachment “profil Paramadina Public Policy Institute (lama)”). Lalu, dalam berbagai profil beliau – mulai dari situs LinkedIn, MySpace, profil pendiri (founder) di website perusahaan SpinDoctors, profil Board of Director di website perusahaan SpinDoctors, dan lain-lain, beliau selalu menyebut diri sebagai PhD di bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van Amsterdam. Semua informasi yang menjadi bukti-bukti statement ini sudah saya lampirkan dalam attachment.
 
Nah,     pada tanggal 2 Januari 2012, seorang rekan PhD student yang sedang     menempuh studi di Leiden University bernama Buni Yani menanyakan  kepada    beliau melalui email, apakah benar beliau lulusan PhD dari   Universiteit   van Amsterdam. Dan beliau mengiyakan. Setelah menanyakan   kebenaran hal   ini kepada pihak Universiteit van Amsterdam, ternyata   pihak  Universiteit  van Amsterdam memberikan klarifikasi melalui email   (lihat  attachment “Klarifikasi Universiteit van Amsterdam”) bahwa tidak pernah ada student bernama Dyah Kartika Rini Djoemadi terdaftar di Universiteit van Amsterdam. 
Bahkan, di website School of Economics Universiteit van Amsterdam (http://ase.uva.nl/aseresearch/object.cfm/objectid=DA8E9304-C6EB-4172-AD771508C05A11DB)     yang menampilkan daftar nama lulusan PhD yang berhasil  mempertahankan    disertasinya di bidang Ekonomi Makro di universitas  tersebut sejak   tahun  2005 sampai dengan 2011, tidak tercatat nama  Dyah Kartika Rini    Djoemadi. Informasi dari rekan Aprina Murwanti  (University of    Wollongong, Australia), DIKTI juga tidak pernah  mencatat penyetaraan    ijazah luar negeri dari Belanda – dalam bidang ilmu apapun – atas nama Dyah Kartika Rini Djoemadi, (silakan lihat http://ijazahln.dikti.go.id/v4/detail_negaraptr.php?kodept=604017&page=1 ). 
Pertanyaan yang mengusik benak saya adalah:
SATU  
Apabila     beliau menyelesaikan Master di Komunikasi UI pada tahun 2002 dan  pada    April 2007 serta Februari 2009 mengaku masih menyelesaikan  program    Doktoral di Komunikasi UI, lalu bagaimana bisa beliau  mencantumkan gelar    PhD bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van  Amsterdam pada tahun    2011? Setahu saya, program Doktoral di Belanda  tidak bisa diselesaikan    dalam waktu 2 tahun saja. Jadi, bagaimana  mungkin..? 
DUA 
Apabila     nama beliau tidak terdaftar di database Universiteit van Amsterdam,     tidak tercatat sebagai lulusan di School of Economics, Universiteit  van    Amsterdam, dan tidak tercatat dalam daftar lulusan luar negeri  yang    menyetarakan ijazahnya di Dikti, lalu bagaimana bisa beliau   mencantumkan   gelar PhD bidang Ekonomi Makro, Universiteit van   Amsterdam dalam   berbagai kesempatan dan pada berbagai media..? 
TIGA
Kalau     memang beliau menempuh studi di Program Doktoral Komunikasi UI,     bagaimana mungkin beliau mendapatkan gelar PhD..? Bukankah UI memberikan     gelar DR – dan bukan PhD – kepada lulusan S3-nya..? Kalaupun beliau     lulusan dari S3-UI, bagaimana mungkin, nama beliau di berbagai media     selalu disebut sebagai lulusan PhD dari Universiteit van  Amsterdam..? 
EMPAT
Kalau     memang beliau adalah lulusan PhD dari Universiteit van Amsterdam     sebagaimana yang beliau akui, lalu mengapa saat ini, beliau menghapus     semua keterangan tentang riwayat pendidikan beliau di berbagai situs     yang menampilkan profil atau CV beliau..? Dulu di situs LinkedIn,     MySpace, profil Kompasiana, profil di perusahaan beliau, beliau selalu     menyatakan diri sebagai lulusan PhD bidang Ekonomi Makro, Universiteit     van Amsterdam. Record ini masih bisa dilacak di search engine Google     sampai hari ini – dan sebagian besar sudah saya scan dan saya  lampirkan    dalam email ini. Namun, kalau kita membuka situsnya (tidak  dari   Google),  keterangan bahwa beliau adalah lulusan PhD dari  Amsterdam   sudah  dihapuskan. Apa yang sebenarnya terjadi..? 
LIMA
Upaya     konfirmasi kepada beliau sudah dilakukan oleh banyak pihak. Melalui     media Twitter (yang seringkali digunakan oleh beliau), banyak pihak –     termasuk Pak Buni Yani di Leiden University, saya, Ibu Aprina  Murwanti    (University of Wollongong), pak Agung Tri Setyarso (Jepang),   dan   lain-lain – meminta  kepada beliau untuk menyebutkan (1)  judul   disertasi/penelitian PhD  beliau, (2) nama supervisor PhD  beliau, dan   (3) tanggal defense sidang  PhD di Universiteit van  Amsterdam,   namun tidak pernah dijawab  dan tidak pernah  direspon. Padahal, kalau   memang (misalnya) terjadi  kesalahan dalam  system database di   Universiteit van Amsterdam yang  menyebabkan nama  beliau tidak tercatat   sebagai student maupun sebagai  lulusan –  informasi tentang judul   penelitian dan nama supervisor serta  tanggal  defense itu bisa digunakan   tidak hanya untuk  mengkonfirmasi gelar PhD  beliau, tapi juga untuk   menyampaikan  terjadinya kesalahan pencatatan  dalam database universitas   sekelas  Universiteit van Amsterdam.  Konfirmasi juga bisa dilakukan   langsung  kepada supervisor beliau,  bukan..? Komputer dan database bisa   saja  mengalami error, tapi  semestinya supervisor beliau akan masih   mengingat  beliau sebagai  salah satu mahasiswa bimbingan PhD-nya. Sayang   sekali,  beliau tidak  bersedia menyebutkan tiga informasi yang kami   tanyakan di  atas. 
Proses     korespondensi antara rekan Buni Yani dan Kartika Djoemadi – di     awal-awal munculnya “pertanyaan” tentang benar tidaknya gelar PhD     tersebut, bisa dilihat di attachment “Korespondensi Email Dee Kartika”.
 Dengan     rentetan kejadian ini, mau tidak mau, wajar saja jika muncul    kecurigaan  saya bahwa telah terjadi kecurangan atau mungkin kejahatan    akademis –  menggunakan gelar akademis tanpa hak. Saya sebagai seorang    insan  akademik merasa sangat terusik dengan hal ini. Yang membuat  saya   jadi  gelisah adalah bahwa ada seseorang yang aktif di berbagai    organisasi  kemasyarakatan, aktif di Partai Politik, dan aktif pula    menjadi tenaga  pengajar dan peneliti yang menggunakan gelar PhD    tersebut tanpa hak.  Dan, sayangnya, beberapa orang yang mengetahui    kasus ini memilih untuk  berdiam diri – ada yang beralasan “tidak mau mengorek-ngorek aib orang”, ada yang beralasan “demi persahabatan”, dan lain-lain.
Dengan     rentetan kejadian ini, mau tidak mau, wajar saja jika muncul    kecurigaan  saya bahwa telah terjadi kecurangan atau mungkin kejahatan    akademis –  menggunakan gelar akademis tanpa hak. Saya sebagai seorang    insan  akademik merasa sangat terusik dengan hal ini. Yang membuat  saya   jadi  gelisah adalah bahwa ada seseorang yang aktif di berbagai    organisasi  kemasyarakatan, aktif di Partai Politik, dan aktif pula    menjadi tenaga  pengajar dan peneliti yang menggunakan gelar PhD    tersebut tanpa hak.  Dan, sayangnya, beberapa orang yang mengetahui    kasus ini memilih untuk  berdiam diri – ada yang beralasan “tidak mau mengorek-ngorek aib orang”, ada yang beralasan “demi persahabatan”, dan lain-lain. 
Saya     juga tidak paham, bagaimana Kemendiknas atau Dikti/Ditnaga atau     Universitas Indonesia atau Universitas Paramadina atau lembaganya     Paramadina Public Policy Institute akan merespon dugaan pemalsuan gelar     ini.  
Masa    sih, mereka tidak tahu keributan yang terjadi di media Twitter   selama   hampir dua minggu ini..? Ataukah ini memang bukanlah kejahatan    akademik  sebagaimana yang saya kira selama ini..? Apakah memang  benar,   bahwa  seseorang boleh saja dan sah-sah saja menyematkan  atribut PhD   (tanpa  harus benar-benar memperolehnya secara sah) - lalu  menggunakan   atribut  itu untuk tampil sebagai pembicara, sebagai  peneliti di sebuah   lembaga  riset, sebagai dosen, dll..? Saya hanya  berpikir, kalau  kejadian   seperti ini kita diamkan selamanya, niscaya  hal seperti ini  akan   menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi di  Indonesia. Betapa    mengerikannya apabila hal itu  betul-betul  membudaya di dunia pendidikan   Indonesia.
Di     sini, saya tidak bermaksud untuk mengorek-ngorek aib yang    bersangkutan.  Saya juga tidak berminat untuk jadi pahlawan kesiangan.    Saya tidak  kenal beliau secara personal, dan saya juga tidak kenal    Marissa Haque  yang sempat menjadi “musuh online” beliau. Posting ini    saya tujukan di  milis ini (1) sebagai bentuk keprihatinan saya akan    kejadian yang sangat  menyedihkan ini, (2) sebagai upaya “perlawanan”    atas kejahatan akademis  yang mungkin telah terjadi tapi tidak terlalu    diperhatikan, dan (3)  sebagai upaya permintaan tolong seandainya    rekan-rekan Diktiers semua  memiliki pandangan atau ide tentang apa yang    sebaiknya dilakukan untuk  menghadapi masalah ini.
Demikian     informasi ini saya sampaikan, semoga bermanfaat, dan menggugah kita     semua untuk berbuat sesuatu. Maaf apabila ada rekan-rekan yang kurang     berkenan dengan posting ini.  Maaf juga karena saya  terpaksa    melampirkan attachment yang ukurannya sangat besar. Mohon  dimaklumi,    karena meskipun isinya adalah file yang saya cetak dari  Internet,    sebagian besar file tersebut sudah susah untuk diakses (ada  yang sudah    dihapus, dll), terutama kalau kita tidak terlalu menguasai  trik-trik    pencarian menggunakan search engine. 
Terima kasih
Wassalaumalaikum wr.wb. 
          
SONY KUSUMASONDJAJA  
@KusumasondjajaS 
An academic with high passion in 
research-based activities in online consumer behaviour & social 
media in the context of tourism and services
              Perth; Australia
             
"Hari Ini Saya Masih Diserang oleh Dee Kartika Djoemadi (Diduga Penjahat Cyber):  Mohon 
 Dibaca oleh Dr. Arif Satria, Anis Baswedan, PhD, Prima Gandhi (HMI), Alvin Adam (Just Alvin), Addie MS & Memes"