Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, SH, MHum, MBA, MH

Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, SH, MHum, MBA, MH
Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, SH, MHum, MBA, MH

Ledakan Penduduk dan Lingkungan Hidup Indonesia (dlm Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA, MH)

Ledakan Penduduk dan Lingkungan Hidup Indonesia (dlm Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA, MH)
Ledakan Penduduk dan Lingkungan Hidup Indonesia (dlm Dr.Hj. Marissa Haque Fawzi, SH, MHum, MBA, MH)

Lagu "Hanya Satu Kamu": oleh Ikang Fawzi





Janji Setia & Cinta Ikang Fawzi untuk Marissa Haque Kekasihnya, 1985







Marissa Haque Cover di Majalah Environment

Marissa Haque Cover di Majalah Environment
Meneliti Illegal Logging di Prov. Riau, 2006-2009

Respectable IPB, Bogor

Respectable IPB, Bogor
IPB, Bogor, Marissa Haque Fawzi, Program Doktor, 2009

Untukmu Indonesiaku

Untukmu Indonesiaku
Untukmu Indonesiaku, Marissa Haque Fawzi

Selasa, 15 September 2009

Lingkungan Hidup, Kebun Raya Bali & Dep PU 2009: Pengalaman Ikang Fawzi Suamiku

Sumber: http://theanimator-chikitafawzi.blogspot.com/

Sabtu, 2009 Agustus 22

Alhamdulillah senang rasanya sebelum memulai bulan Ramdahan tahun ini Ikang Fawzi Ayahku tercinta ku berseri-seri pulang kerumah dengan membawa 'segudang' cerita tentang Kebun Raya di Bali yang harus terus didukung serta diperjuangkan sekaligus juga beberapa pekerjaan projek dari Dep PU tempatnya selama ini bermitra. Terimakasih Ya Allah... atas rezeki halal yang telah Engkau limpahkan kepada kami sekeluarga dirumah pada Ramadhan suci tahun ini... hingga kami mampu berlebaran diakhir bulan ini...

Berikut ini berita Ayahku di Kompas Cyber dengan alamat pada akhir esei berikut dibawah ini:

18 Juli 2009 03:20 WIB Ikang Fawzi (45) laris di acara peringatan 50 tahun Kebun Raya Eka Karya Bali, di Bedugul, Tabanan, Rabu (15/7) malam. Laris bukan karena ia menjual suatu barang, tetapi banyak bapak dan ibu dari berbagai daerah yang datang sebagai undangan kebun raya itu memintanya berfoto bersama. Mereka mengaku sebagai penggemar Ikang Fawzi sejak lama. ”Wah, silakan Pak. Mau bagaimana gayanya, Pak?” kelakar penyanyi rock ini. Namun, kehadirannya di sini bukan sebagai duta kebun raya. Ia diminta teman-temannya yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum untuk mengisi acara hiburan di Kebun Raya Eka Karya Bali.

Apa komentarnya? ”Saya kagum dengan kebun raya ini. Terbayang sehatnya badan dan rohani jika sering menghirup kesegaran alam yang asri, apalagi bareng keluarga,” katanya. ”Otomatis bermusik pun jadi lancar dan menyenangkan. Kebun raya ini membawa aura segar, musik jadi indah dengan sendirinya,” ujar Ikang.

Ia berharap bisa mengunjungi ke-20 kebun raya di Indonesia. Selama ini Ikang baru sempat mengunjungi kebun raya di Bogor, Cibodas, dan Bali. ”Meski baru taraf mengagumi keanekaragaman alam di kebun raya, saya sungguh mendukung pelestarian alam,” tuturnya. (AYS)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/0320248/Kebun.Raya.dan.MusikSabtuan.MusikSabtu,

Forum Previlegiatum untuk Illegal Logging di Provinsi Riau: Marissa Haque


Forum Previlegiatum untuk Illegal Logging di Provinsi Riau
(Tulisan Bersambung Hukum: 1)

Sumberdaya hutan dengan potensi manfaatnya yang bersifat tangible dan intangible memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan dan kehidupan masyarakat, misalnya dalam menyediakan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan. Nilai manfaat hutan tidak hanya nilai manfaat ekonomi, tetapi juga memiliki nilai manfaat sosial dan perlindungan ekosistem. Astana et.al. (2002) menyatakan bahwa peranan ekonomi kehutanan ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah serta peningkatan pertumbuhan ekonomi. Devisa negara dari produk hasil hutan selama periode 1991-2001 berkisar US$ 3,46-5,43 miliar dengan laju peningkatan sebesar 5-10% per tahun yang dihitung berdasarkan nilai ekspornya (Santoso, 2008). Lebih lanjut Santoso (2008) menyebutkan bahwa nilai devisa produk hasil hutan pada periode tahun 1990-1997 mencapai 30% dari nilai ekspor industri nasional, sedangkan pada saat tahun 1998-2002 nilai devisa hutan sebesar 12% dari total produk industri. Selain nilai ekonomi tersebut, sumberdaya hutan juga memberikan kontribusi dalam menyediakan jasa lingkungan yang nilai keberadaan dan fungsinya sangat penting dalam menyangga kehidupan masyarakat misalnya jasa lingkungan air, penyerapan karbon, dan rekreasi alam.

Hutan Indonesia merupakan bagian penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan bangsa Indonesia semata namun juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Luas kawasan hutan di 30 provinsi di Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada tahun 2007 mencapai 112,3 juta ha, sedangkan luas kawasan hutan di tiga provinsi lainnya (Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Tengah) masih mengacu kepada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) mencapai 24,76 juta ha yang terdiri dari 15,30 juta ha kawasan hutan di Kalimantan Tengah dan 9,46 juta ha kawasan hutan di Riau dan Kepuluan Riau (Badan Planologi Nasional, 2007). Hutan ditiga wilayah tersebut saat ini berada dalam kondisi sangat kritis. Said (2008) mengemukakan, bahwa kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai hingga 59, 62 juta ha yang disebabkan oleh aktifitas pembalakan liar/illegal logging dan konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit dan karet juga kebakaran hutan. Laju degradasi hutan di Indonesia pada periode 1982-1990 mencapai 0,9 juta ha/tahun, periode 1990-1997 mencapai 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun, serta periode 2000-2006 mencapai 1,08 juta ha/tahun.

Akibat degradasi lahan dan deforestasi yang terjadi, hutan primer yang masih tersisa di Indonesia diperkirakan hanya tinggal 28% dari luas hutan yang ada. Skephi (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, penutupan lahan berhutan di Jawa tinggal 19%, Kalimantan 19%, dan Sumatera 25%, sehingga jauh di bawah angka 30%, yakni luas hutan minimal di suatu pulau yang disyaratkan oleh undang-undang.
Sedangkan hutan tersisa yang berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71%), Sulawesi (43%), dan Bali (22%). Salah satu penyebab utama dari terjadinya degradasi lahan dan deforestasi tersebut adalah praktek pembalakan liar/illegal logging yang terjadi hampir merata disemua wilayah Indonesia, selain karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan kebakaran hutan.

Semakin berkurangnya tutupan hutan mengakibatkan sebagian besar kawasan wilayah Republik Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis (ecological disaster) – seperti bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Media Indonesia (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dari Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia akibat kerusakan hutan dengan 2.022 korban jiwa dan miliaran kerugian dalam rupiah. Sebesar 85% dari seluruh bencana yang terjadi tersebut merupakan bencana banjir dan tanah longsor. Sementara itu menurut data Walhi, selama 2006-2007 tercatat telah terjadi 840 kejadian bencana alam yang telah menelan korban 7.303 jiwa meninggal dan 1.140 dinyatakan hilang. Sedikitnya tiga juta orang menjadi pengungsi dan 750 ribu unit rumah rusak atau terendam banjir. Selain itu, keanekaragaman kekayaan flora dan fauna Indonesia (bio diversity) semakin berkurang setiap tahunnya dan mengakibatkan rakyat yang tinggal di sekitar hutan dimana selama hidup mereka menjadikan hutan sebagai tempat penyedia makanan dan obat-obatan oleh karena dampak kegiatan pembalakan liar/illegal logging maka tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia jadi semakin sempit.

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang laju degradasi hutan akibat pembalakan liar/illegal logging tergolong tinggi. Selama dua puluh tahun terakhir kerusakan hutannya mencapai 3,7 juta ha dari 8.598.757 ha penutupan lahan berupa hutan. Kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 390.000 ha, kawasan suaka alam dan pelestarian alam (KSPA) daratan seluas 410.908 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.960.128 ha, dan hutan produksi tetap (HP) seluas 1.873.632 ha. Saat ini kondisi hutan alam di Provinsi Riau sudah sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan dimana luasan hutan alam yang tersisa sekitar 1 juta ha (Bappedalda Riau, 2005).

Data FWI/GFW (2001) menunjukkan bahwa hutan di Provinsi Riau yang terdegradasi mencapai 2.671.417 dan yang sudah gundul mencapai 1.705.401 ha. Proses deforestasi dan degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 juta ha. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 ha) dari luas daratan Provinsi Riau 8.225.199 ha (8.265.556,15 ha setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2.743.198 ha (33% dari luas daratan Riau). Dalam kurun waktu tersebut Provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alamnya seluas 160.000 ha/tahun (Walhi, 2007). Dengan demikian selama 24 (duapuluh empat) tahun kawasan hutan Provinsi Riau mengalami degradasi sebesar 57%. Diperkirakan tingkat kerusakan sesudah tahun 2004 dan 2005 seluas 200.000 ha. Dengan kondisi tersebut, diperkirakan kawasan hutan Riau tahun 2015 hanya tinggal seluas 476.233 ha (FKPMR, 2007). Data citra satelit landsat Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2007 menunjukkan bahwa hutan lindung di Riau yang rusak mencapai 108.000 ha atau sekitar 50%. Kawasan yang rusak tersebut terdapat di 14 hutan lindung di Provinsi Riau. Kerusakan terparah dialami hutan lindung di Kabupaten Rokan Hulu yang tidak berbentuk hutan lagi. Kerusakan di kabupaten ini mencapai 41.288 ha dari 67.573 ha hutan lindung yang ada.
Konversi skala besar lahan hutan menjadi dua peruntukan: (1) yakni untuk pembangunan perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini telah mencapai 2,7 juta ha, dengan target pertambahan luas 8,02% pertahun sampai mencapai luas 3,1 juta ha benar-benar merupakan faktor utama penyebab kerusakan terbesar hutan alam di Provinsi Riau; dan (2) pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sebagiannya dipasok dari hutan alam untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku bubur kertas (pulp) dan kertas PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper). Provinsi Riau merupakan pusat percepatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) secara nasional. Lebih dari 50% program percepatan HTI berlokasi di provinsi tersebut adalah dengan luasan 1,6 juta ha. Dari luas hutan produksi di Riau yang mencapai 4,1 juta ha, hampir 40% adalah merupakan areal HTI. Hampir 70% dari deforestasi merupakan areal hutan produksi yang secara hukum dapat dikonversi untuk kepentingan budi daya non-kehutanan. Data di Departemen Kehutanan itu menunjukkan luas areal hutan produksi yang dapat dikonversi di wilayah Riau dalam kondisi masih berhutan mencapai angka 982.620 ha (FKPMR, 2007). Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, sumberdaya hutan menjadi alternatif sumber pendapatan daerah. Apabila tidak dikendalikan, dari segi perlindungan hutan tentunya sangat mengkhawatirkan, karena hal tersebut berarti daerah dapat mengeksploitasi sumberdaya hutan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Berbagai perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah didorong oleh adanya keinginan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya hutan yang ada di daerahnya. Adanya kebijakan perizinan di daerah yang tidak sesuai dengan peraturan pengelolaan hutan di atasnya mencerminkan adanya tumpang tindih kebijakan antara pemerintah dan pemerintah daerah atau tarik ulur kewenangan yang disebabkan oleh adanya inkonsistensi atau insinkronisasi peraturan antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah dengan adanya perbedaan kepentingan yang berdampak pada perbedaan orientasi kebijakan antara pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga akan menghambat proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembalakan liar/illegal logging.

Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Polda Riau telah melakukan operasi pemberantasan pembalakan liar/illegal logging di wilayah Provinsi Riau. Upaya penegakan hukum tersebut di awal tahun 2007 menimbulkan polemik yang berujung antiklimaks dengan dikeluarkannya SP-3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) pada 23 Desember 2008 oleh Kepolisian Daerah Riau dibawah kepemimpinan Kapolda yang berbeda. Sehingga dari pihak Polri sebagai Alat Negara Penegak Hukum sendiri terkesan telah terjadi internal dispute oleh karena diduga terjadi perubahan instruksi dari Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan cq Presiden Republik Indonesia.

Kasus ini pada awal operasi tim Illegal Logging Mabes Polri dan Departemen Kehutanan diawal tahun 2007, menyeret 14 (empat belas) perusahaan perkayuan milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Tujuh buah perusahaan datang dari kelompok PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP); yaitu PT. Madukoro dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM) di Kabupaten Pelalawan, PT. Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI), PT. Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT. Mitra Kembang Selaras (MKS) di Kabupaten Indragiri Hulu, PT. Merbau Pelalawan Lestari (MPL) dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM). Serta tujuh perusahaan dari kelompok PT. IKPP yaitu; PT. Arara Abadi, PT. Bina Duta Laksana (BDL) PT. Rimba Mandau Lestari (RML), PT. Inhil Hutan Pratama (IHP), PT. Satria Perkasa Agung (SPA), PT. Wana Rokan Bonay Perkasa (WRBK), dan PT. Ruas Utama Jaya (RUJ) ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar/illegal logging di Provinsi Riau. Proses pemberkasan perkara selama hampir dua tahun berproses. Berdasarkan keterangan tim ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan pada akhirnya dibulan Desember 2008 dianggap kurang cukup bukti perbuatan melawan hukumnya. Sehingga harus diputuskan untuk dikeluarkannya SP-3 atas 13 dari keseluruhan 14 berkas kasus yang ditangano Polda Riau yang menyangkut dugaan delik pidana pembalakan liar/illegal logging tersebut diatas. Kesimpulan tim ahli pertama dari KLH menyatakan bahwa di Provinsi Riau selama ini tidak ada kerusakan lingkungan. Sementar tim ahli kedua dari Departemen Kehutanan menyimpulkan bahwa 13 dari 14 perusahaan tersebut mengantongi izin – artinya selama ini mereka telah melakukan seluruh upaya yang sebelumnya diduga adalah aktivitas pembalakan liar/illegal logging oleh Polda Riau yang akhirnya dinyatakan sah berdasarkan hukum. Kecuali PT. Ruas Utama Jaya (RUJ) anak perusahaan PT. IKPP yang diangap secara nyata tidak memiliki izin dan memenuhi unsur pembalakan liar/illegal logging karena membangun kanal (parit) didalam hutan lindung yang terbukti sah melakukan unsur perbuatan melawan hukumnya (onrechmatigheids beleid). Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pada kasus Provinsi Riau ini telah terjadi permasalahan inkonsistensi dan insinkronisasi antara kebijakan perlindungan hutan dengan pengusahaan hutan di Indonesia. Dari sana mulai dapat diukur belum terimplementasi dengan baik dan efektifnya seluruh kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan pemberantasan pembalakan liar/illegal logging didalam sebuah kesatuan yang holistik dan integrated.

Tingkat degradasi dan deforestasi hutan di wilayah tersebut sudah sangat memprihatinkan serta telah mendatangkan bencana ekologis. Diperlukan upaya terobosan hukum khusus yang harus dilakukan oleh elit pemegang kekuasaan negara dan pemerintahan tertinggi negeri ini. Terkait dengan hal tersebut diatas, apabila peraturan perundang-undangan yang bersifat lex specialis tidak mampu menanggulangi delik pidana tertentu semacam masalah pembalakan liar/illegal logging ini, maka pemerintah dalam hal ini Kepala Pemerintahan yang juga sekaligus Kepala Negara yaitu Presiden RI dapat melakukan intervensi apabila para pembantunya yaitu Alat Negara Penegak Hukum yaitu Polri dan Pengacara Negara yaitu Kejaksaan telah memberlakukan Asas Subsidiaritas dari UU Kehutanan No. 49 Tahun 1999 menjadi penggunaan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk upaya implementasi Asas Ultimum Remidium dan Asas Premum Remidium namun masih juga belum berhasil. Itulah saatnya dengan alasan “kondisi yang genting” dan “telah terjadi keresahan yang sangat luas dan merata ditanah air”, Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan dapat menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang Presiden untuk melahirkan usulan Perpu (Peraturan Pengganti Undang-undang) yang dilakukan bersama dan atas persetujuan DPR RI dan atau sekaligus dengan memerintahkan dikeluarkannya Kepres (Keputusan Presiden) yang besifat beshicking/terminate/pemutus. Bukan lagi sejenis Inpres (Instruksi Presiden) seperti didalam hal Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Republik Indonesia, yang sudah cukup baik namun terbukti tidak efektif. Dalam kenyataannya, sebuah inpres saja tidak cukup karena tidak memiliki sifat beschicking/terminate/pemutus[1] itu tadi. Karena tidak adanya unsur sifat tersebut itulah karenanya diperlukan sebuah terobosan hukum lainnya. Hal seorang Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan mengeluarkan Kepres dan mengusulkan Perpu dimungkinkan oleh UUD 45. Karena dampak negatif pembalakan liar/illegal logging ini sangat mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan hidup dan sudah menimbulkan keresahan tinggi dimasyarakat luas. Terkait dengan hal tersebut Presiden selanjutnya dapat meminta kepada lembaga-lembaga negara di bidang penegakan hukum untuk menindak tegas pelaku pembalakan liar/illegal loging langsung dengan pengenaan pasal pidana terkait deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang dikeluarkannya dengan pengawasan terbuka bagi umum dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat luas Indonesia dengan bantuan sistem TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).

Selain itu pada tatanan below the line pasca diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terkait dengan kebijakan-kebijakan lainnya dari hukum positif Indonesia, demi menunjang pemberantasan pembalakan liar di Provinsi Riau perlu koordinasi penegakan hukum secara efisien dan efektif terkait dengan telah dikeluarkannya Inpres 4 Tahun 2005 tadi memberlakukan law enforcement yang terbuka serta berkeadilan untuk menjerat pelaku delik pidana tersebut dengan perlibatan aktif seluruh anggota DPRD tingkat satu dan dua (Provinsi dan Kabupaten/Kota) termasuk elemen masyarakat luas didaerah setempat. Jika selama ini kendala utama yang dihadapi pihak Kejaksaan diakui terkait dengan sulitnya pengenaan pasal-pasal yang pas bagi pembuktian perbuatan melawan hukum (onrechtmatigheids beleid), dan dipihak lainnya Polri juga mengalami kesulitan didalam melakukan penyidikan para oknum Kepala Daerah maupun Menteri yang telah terindikasi melakukan delik pidana lingkungan hidup dan pembalakan liar/illegal logging tersebut, dimana mereka tidak dapat tersentuh hukum karena selalu bersembunyi dibalik kekuatan laten ‘Menunggu Izin Presiden’ (Forum Previlegiatum). Maka pada level inilah seorang Presiden yang bertanggung jawab wajib memberikan intervensi dengan membiarkan mereka para oknum birokrat tersebut berhadapan langsung dengan penegakan hukum positif Indonesia tanpa pilih kasih – equality before the law – tanpa semata mempertimbangkan kepentingan kemenangan politik jangka pendek juga sekaligus guna memperpendek jalur aktivitas oknum pelaku praktek jaring mafia peradilan Indonesia. Sehingga izin Presiden yang selama ini diduga sebagai ‘lubang persembunyian’ (bunker) para pelaku berbagai delik pidana mendapatkan dampak jera untuk kemudia tidak perlu terjadi lagi dikemudian hari atas hal yang sama.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka diperlukan suatu kajian yang konprehensif dan sistemik atas faktor-faktor apa saja yang selama mempengaruhi terjadinya aktivitas pembalakan liar/illegal logging dan dampaknya terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial termasuk siapa saja aktor dan stakeholder yang dapat memberikan kontribusi signifikan bagi efektifnya percepatan pemberantasan pembalakan liar/illegal loging yang sangat meresahkan ini. Kajian kebijakan dan sistem hukum pemberantasan pembalakan liar/illegal logging ini menjadi signifkan untuk dikaji sebagai pendekatan yang diharapkan dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup dengan fokus pada sumberdaya hutan tropis di Indonesia sebagai hulu dari masalah-masalah yang terjadi dihilir dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan/sustainable development. Termasuk pengembangan kebijakan dan perbaikan sistem hukum serta implementasinya (law enforcement) atas para pelaku delik pidana lingkungan hidup dan pembalakan liar/illegal logging.

[1] Anna Erliana (2005), Guru Besar Hukum Tata Negara, Pasca Sarjana FH-Universitas Indonesia, Saksi Ahli Peradilan TUN (Tata Usaha Negara)

Negara Hukum Indonesia Menjelang Gagal: Marissa Haque



Negara Bayi Indonesia 1945

(Tulisan Bersambung Hukum: 2)

Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara. Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang dibentuk oleh 14 warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di Asia Tenggara ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang terjerat hutang yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan menuju kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya memang khusus untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan Belanda di Hindia Belanda. Artinya kita sekarang sebagai bangsa yang merdeka harus mengevaluasi ulang atas upaya unifikasi serta kodifikasi yang telah kita lakuakn atas sumber hukum yang kita telah adopsi sejauh ini dimasa 64 tahun merdeka, sejauh mana dampak positifnya bagi kedaulatan rakyat menuju keadilan dan kesejahteraannya. Karena tanpa kita sadari Sistem Hukum Eropa Kontinental yang diadopsi Belanda dimasa lampau juga sekaligus membuat Indonesia ‘dibelandakan’ tanpa kita sadari. Karena disaat bersamaan Indonesia sekaligus mengadopsi ‘semangat menjajah’ para penjajah tersebut atas bangsa yang dijajahnya. Penjajahan terkait dengan bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia serta pembagian porsi kemakmuran dari masyarakat pemilik sumberdaya tersebut, termasuk penegakan hukum bagi para pencurinya, masih mengusik rasa keadilan rakyat. Hari ini Indonesia sedang terjajah oleh bangsanya sendiri. Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak hukum Indonesia sampai hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan – vivat justitia vereat mudus (walaupun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).

Istilah ‘londo blankon’ yang bermakna orang Belanda berblangkon bermakna masyarakat bumiputra namun berkarakter menjajah seperti sang penjajah Belanda.[1] Dizaman penjajahan masa lalu untuk menjadi seorang Mister in de Rechten/Sarjana Hukum kesempatan tidak terbuka luas bagi seluruh rakyat inlander (bumiputra). Masa itu peluang hanya diberikan kepada para ningrat keturunan ‘darah biru’/the Royal Family semata, jadi bukan bagi mereka yang berasal dari keluarga rakyat kebanyakan yang rata-rata dari golongan petani dan nelayan. Golongan ekskulusif priyayi berdarah biru ini, mendapatkan hak diskresioner berupa: (1) bersekolah disekolah Belanda; (2) mempelajari bahasa dan kebudayaan Belanda; (3) diundang pada pesta-pesta socialite keluarga Belanda; (4) menghadiri de Koningin Dag (hari lahirnya Ratu Belanda); serta (5) mendapatkan diskresi berupa pengakuan persamaan perlakuan hukum didepan publik yang setara dengan ‘tuan putih’ mereka.

Terkait masalah tersebut diatas, dapat disimak dari catatan sejarah para anggota sebuah badan yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia BPUPKI. Tercermin dari susunan nama mereka yang terlibat aktif didalam persiapan kemerdekaan Indonesia tersebut selain rata-rata bernuansa nama Jawa, juga sekaligus menyandang gelar MR singkatan dari Mister in de Rechten yang mana juga diantara mereka sebagian besar menyandang gelar kebangsawanan berupa RMT (Raden Mas Tumenggung) atau RM (Raden Mas). [2]
Dari sudut dan arah pandang sumber hukum positif Indonesia dari masa lalu saja sangat terasa adanya ‘aroma’ pengkotak-kotakan sosial kemasyarakatan tersebut. Termasuk juga dengan jenis hukum diantara kelompok masyarakat Hindia Belanda yang dengan sengaja dibedakan antara satu jenis hukum tertentu untuk masyarakat tertentu terhadap terhadap hukum lainnya untuk masyarakat tertentu lainnya juga. Tipe pengkotakan seperti ini adalah ciri khas teknik dan metodologi yang biasa diimplementasikan pemerintah Belanda melalui VOC disaat menjajah Hindia Belanda/Indonesia, yang dikenal sebagai asas Devide et Impera yaitu pemecah belahan sebagai anti thesis dari keterkaitan didalam sebuah sistem.

Hubungan-hubungan hukum yang diatur didalam masing-masing jenis hukum tersebut diatas lalu menjadi tidak cohesive serta jauh dari coherance. Dalam hal ini Schloten (1954) memberikan penjelasan lebih jauh: “De gedagsregel staat tegenover den regel van vorming van den gedagsregel, de beslissing tegenover de aanwijzirg, wie de beslissing mag geven het recht in de georganiseerde gemeenschap tegenover den vorm van die organisatie.” Artinya: “Bahwa aturan perikelakuan dibedakan dengan aturan mengenai pembentukan kaidah tersebut, suatu keputusan dibedakan dari petunjuk tentang siapa yang berhak memutuskan hukum dalam masyarakat yang terorganisasikan dengan bentuk organisasi tersebut.”

Dari sini semakin terlihat bahwa Hukum Negara Belanda dan Hukum Hindia Belanda yang diunifikasi serta dikodifikasi oleh pemerintahan sebuah negara baru merdeka bernama Indonesia sejak dilakukannya sampai hari ini tidak pernah secara serius dipikirkan, didisain, diproduksi sebuah produk Sistem Hukum Positif Indonesia yang holistics dan integrated. Sehingga seluruh elemen ilmu hukum positif Indonesia yang diajarkan kepada para mahasiswa dibangku Fakultas Hukum diseluruh Indonesia pada umumnya tidak pernah diperkenalkan, karena memang belum pernah ada. Yang diajarkan hanyalah hal-hal yang terkait dengan pemantapan pembeda diantara bidang hukum publik (dimana hukum pidana termasuk didalamnya) dan bidang hukum perdata.

Acuan terkait masalah ini dapat dilihat pada Lemaire (1952) dalam Yudho (1986): “Verschillende bassisen voor indeling van derechtsvoorzieningen zijn mogelijk, al naar gelang van de gezichtshoek van waaruit hetgelded recht wordt besturdeerd.” Yang artinya: “Berbagai dasar pembidangan hukum adalah mungkin, sekedar dari sudut mana hukum hendak dipelajarinya.” (WLG Lemaire, 1952). Pembidangan hukum yang dimaksud didalam sendi-sendi tata hukum diatas adalah: (1) Hukum Publik dan Hukum Perdata; serta (2) Hukum Material dan Hukum Formal. Sebagaimana selanjutnya dijelaskan oleh Lemaire (1952) bahwa: “De voornamste tubricering van rechtsregel is die welke uitgezukt wordt door de begrippen publiek recht ... naast privaatrecht ... en de onderverdeling van biede normen ...” Yang artinya: “Pembidangan terpenting dari aturan-aturan hukum adalah yang dirumuskan dengan pengertian-pengertian hukum publik ... disamping hukum perdata ... dan penjabaran kedalam kedua himpunan kaidah-kaidah tersebut.”

Menurut van Apeldorn (1966) dalam Yudho (2007), Hukum Publik mengatur kepentingan umum, sedangkan Hukum Perdata mengatur kepentingan khusus. Terlepas dari masalah tepat atau tidaknya dampak dari pembidangan ini, menurut Zwarensteyn (1975) namun langkah ini memiliki tujuan yaitu: “ ... to denote the distinction between those areas of the law where the private rights and relations of the individual citizen are concerned (private law) and those areas where the relations of the citizen with organized society as a whole (the state or the muncipality) are concerned (public law).” Jadi Hukum Publik itu dihubungkan dengan aturan dimana terdapat unsur (campur tangan) penguasa, sedangkan Hukum Perdata biasanya berisikan hubungan pribadi. Dalam hal terkait tersebut diatas Schloten (1954) dalam Yudho (2007) mengajukan beberapa kriteria ilmu hukum yang dapat dipakai sebagai patokan, adalah: (1) pribadi yang melakukan hubungan hukum; (2) tujuan hubungan hukum sesuai sebagaimana tercantum dalam peraturan; (3) kepentingan-kepentingan yang diatur; (4) kaidah-kaidah hukum yang terumuskan. Dimana didalam kriteria hukum-hukum warisan Kolonial tersebut diatas tidak terlihat adanya keterkaitan langsung antara satu kriteria yang satu dengan kriteria lainnya didalam sebuah kesatuan kepentingan yang terpadu, holistik, serta integrated.

[1] Nani Soekarno (2008), in depth interview, janda veteran perintis kemerdekaan Indonesia
[2] RM. Hari Haryono Kodrat Purbo Pangrawit (2006), in depth interview, anggota keluarga besar Keraton Solo, Ahli kebudayaan Jawa, dan Pendalang

Pidana Illegal Logging: Menelaah Leadership Negara Hukum Indonesia (Marissa Haque)

Pidana Illegal Logging:
Menelaah Leadership Negara Hukum Indonesia
(Tulisan Bersambung Hukum: 3)

Didunia terdapat empat jenis sistem hukum yaitu: (1) Sistem Hukum Islam; (2) Sistem Hukum Eropa Kontinental (Hukum Benua Eropa); (3) Sistem Hukum Anglo Saxon (Hukum Inggris Lautan); dan Sistem Hukum Sosialis. Disaat lahir dan berdirinya Republik Indonesia, karena mengunifikasi dan mengkodifikasi hukum dari pemerintah mantan penjajah Belanda artinya kita mengadopsi sistem hukum Eropa Kontinental yang dibawa oleh Belanda termasuk ‘ruh/spirit’ demokrasi didalamnya yang esungguhnya bukan asli milik masyarakat Indonesia. Plato menjelang akhir hayatnya menyapaikan pandangan Negara Hukum sebagai alternatif pemerintahan terbaik bagi umat manusia. Dalam sebuah karyanya berjudul “The Law” ia tidak bersetuju atas konsep sebuah negara yang diperintah oleh orang bebas, melainkan berdasarkan keadilan yang wajib dijalankan berdasarkan norma-norma yang tertulis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa para penguasa adalah hamba hukum yang tidak membeda-bedakan orang.[1] Sementara Aristotele merumuskan Negara Hukum sebagai dimana sejumlah warganegara yang ikut serta dalam Permusyawaratan Negara (Eclesia) sebagai implementasi keadilan negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada seluruh warganegaranya. Keadilan merupakan syarat mutlak nagi tercapainya kebahagiaan hidup warganegara. Pikiran adil tertuang kedalam peraturan hukum. Penguasa hanya memegang hukum dan keseimbangan saja. Kedua filosof tersebut diatas menambahkan bahwa cita-cita manusia hidup adalah mengejar kebenaran (idee de warheid), mengejar kesusilaan (idee der zodelijkheid), mengejar keindahan (idee der schonheid), mengejar keadilan (idee de gerechtigheid). Krabbe menguatkan bahwa hukum berdaulat adalah yang bersumber kepada kesadaran-kesadarn rakyat dimana pengertian kedaulatan hukum merupakan kelanjutan dari faham kedaulatan rakyat (volksovereinheid). Kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan (wilekeur) dan hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh (lam). Dengan demikian maka Negara Hukum adalah suatu sistem yang wajar dalam negara berdemokrasi dari bentuk pemerintahan yang menyalurkan kepentingan-kepentingan rakyatnya sebagai pernyataan dari hak azazinya. Sesungguhnya demokrasi yang difahami oleh para founding fathers kita adalah sebuah bentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat.[2]

Mengacu pada keterangan para pemikir negara hukum diatas terkait permasalahan hukum berkeadilan yang mensejahterakan rakyat, maka menjadi tidak mengherankan jika sampai dengan hari ini Indonesia sebagai sebuah negara hukum yang mengunifikasi serta mengkodifikasi sistem hukum dari negara yang bekas penjajahnya artinya juga termasuk juga mengadopsi semangat pemecahbelahan (devide et impera) dan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya kedalam bentuk peruntukan aturan yang berbeda diberlakukan bagi setiap jenis hukumnya. Kejadian tersebut diatas sangat filosofis, sama persis dengan kejadian filosofis lainnya bagaimana diawal reformasi sepuluh tahun yang lalu Indonesia mengadopsi sesuatu yang mempunyai sifat dasar berlawanan dengan ruh serta semangat berkeadilan bagi rakyat luas Pancasila yaitu dengan resmi dimasukkan sebuah kata demokrasi. Hasil amandemen UUD 45 sebanyak empat kali meletakkan kata demokrasi tersebut tepat persis dijantung kedaulatan rakyat lalu dikawinkan dengan padanan ekonomi, sehingga jadilah demokrasi eknomi bagi rakyat Indonesia yang tidak memihak kepada masyarakat Indonesia itu sendiri. Bahaya laten ketika kata demokarasi diletakkan pada ekonomi didalam Pasal 4 UUD 45 sebagai pengkayaan pasal yang sebelumnya hanya berisi 3 pasal kedaulatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bagi anak bangsa Indonesia, adalah ketika berlaku liberalisasi ekonomi yaitu pasar bebas. Yang kecil pasti akan mati, yang lemah pasti akan kalah, simiskin akan menjadi semakin miskin dan penderitaan rakyat tidak mendapatkan proteksi atau perlindungan dari elit penguasa pusat melalui konstitusinya. Karena dalam kandungan konsep liberal mengharamkan adanya faktor intervensi dari pihak manapun. Terkait dengan keadulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diharamkan memberikan intervensi dalam hal proteksi yang diperuntukkan bagi rakyatnya yang sebagian besar miskin tersebut. Termasuk didalam penanganan kasus delik pidana pembalakan liar/illegal logging di Provinsi Riau.

Terkait dengan dikeluarnya SP-3(Surat Pemberhentian Pemeriksaan Perkara) oleh Kapolda Riau yang baru periode tahun 2008 keatas yang secara terbuka serta diketahui umum dinyatakan bahwa dilakukan ‘atas perintah Mabes Polri’ pada tanggal 22 Desember 2007 lalu. Meredupkan harapan masyarakat yang sempat membumbung atas penegakan hukum yang transparan, berkeadilan, serta tidak tebang pilih di Indonesia yang pernah dilaksanakan oleh Kapolda Riau periode sebelumnya. Rupanya dampak negatif pembalakan liar/illegal loging yang telah berdampak besar terhadap kelestarian ekologis dan sosial-ekonomi masyarakat luas dan terjadi di hampir semua kawasan di provinsi ini, baik di hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi, dan juga yang telah diselidik serta disidik secara serius oleh tim Kapolda lama dengan melibatkan sejumlah elemen NGO dan masyarakat umum demi mendukung pembangunan yang berkelanjutan/sustainable development di Indonesia, tidak sejalan dengan pertimbangan kebijakan oknum elit pemerintah pusat menuju Pemilihan Presiden 2009 yang akan datang yang pro kepada padat modal dan pertumbuhan ekonomi makro tanpa menghiraukan keseimbangan pembangunan berwawasan lingkungan/sustainable development. Alasan atas pertimbangan mendahulukan stabilitas politik, ekonomi makro, dan keamanan negara hanya dilihat dari kacamata searah pemerintah pusat melalui pertimbangan perangkat tim ekonominya tanpa pertimbangan informasi dan partisipasi dari masyarakat luas Indonesia[3] -- termasuk Provinsi Riau. Mendahulukan kepentingan politik semata tanpa membingkainya dengan hukum termasuk politik lingkungan hidup sangat melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sukardi (2005) menyebutkan beberapa bentuk kegiatan pembalakan liar/illegal loging di kawasan hutan produksi semisal: (1) Menebang di daerah yang kecuramannya melebihi 40%; (2) Menebang di luar batas-batas konsesi; (3) Menebang area hutan lindung yang berbatasan dengan konsesi; (4) Menebang dengan jarak kurang dari 100 m dari sungai, aliran air atau sumber air; (5) Menebang pohon-pohon dari spesies yang dilindungi; (6) Menebang lebih banyak dari volume yang diizinkan; (7) Menebang di daerah yang penting secara budaya seperti wilayah adat dan keagamaan; (8) Menebang daerah tertentu sebelum rotasi regenerasi selesai.

Hutabarat (2007) menyebutkan bahwa dalam pengusahaan hutan ini suatu yang legal bisa menjadi ilegal, misalnya pemegang konsesi menebang pohon di luar blok tebang yang diizinkan untuk tahun RKT berjalan (over cuting). Dalam hal ini penebangan pohon telah terjadi penebangan ilegal di dalam areal konsesi yang legal. Pembalakan liar/illegal loging yang lebih parah terjadi apabila kegiatan terjadi dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH), yaitu dengan memasuki kawasan hutan yang tidak diperkenankan untuk dieksploitasi hasil kayunya.

Sebelum tahun 2000, Departemen Kehutanan dan pemerintah kabupaten dapat mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari hutan alami yang rusak dalam rangka mendirikan hutan tanaman industri atau kawasan perkebunan industri. Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan melarang dikeluarkannya izin konversi lahan baru karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa hak konversi memungkinkan banyak pihak untuk menebang area yang luas dari hutan alami sehat, karena sering disertai dengan penggunaan api. Namun, konversi hutan terus berlanjut diseluruh kepulauan Indonesia, karena 212 HTI dan 526 perkebunan telah mengakar sebelum pelarangan di tahun 2000. Keduanya dianggap legal. Tetapi, meluasnya praktek penebangan area hutan alami yang tidak rusak (dengan persediaan kayu lebih dari 20 m3/ha) di dalam kawasan hutan adalah ilegal. Yang juga ilegal adalah ketika pemerintahan kabupaten menerbitkan surat izin baru, atau memperpanjang izin lama yang terletak di dalam kawasan hutan nasional yang termasuk di dalam hutan produksi yang ditujukan untuk konversi. Walaupun UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang dilakukannnya penebangan kayu di kawasan hutan konservasi, namun sampai hari ini banyak pelaku pembalakan liar/illegal logging yang tetap berkeras memasuki hutan konservasi dimana lokasi tersebut menyimpan banyak spesies tegakan pohon dengan nilai komersial tinggi. Hutan konservasi yang umumnya masih virgin forest menjadi target penebangan para pelaku pembalakan liar/illegal logging, setelah potensi hutan produksi lainnya di Provinsi Riau menurun karena tidak pernah ditanam kembali. Kondisi parah akibat pembalakan liar/illegal logging yang hampir sama terjadi diwilayah hutan lindung yang juga memiliki potensi kayu masih tinggi.


Hutabarat (2007) secara tegas menyebutkan bahwa pembalakan liar/illegal logging adalah suatu perbuatan kriminal/delik pidana yang secara khusus melawan dan menyimpang dari tujuan pengelolaan hutan lestari di Indonesia – sustainable forest management. Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi pembalakan liar/illegal logging yang mempunyai jaringan sindikat skala internasional. Hasil pembalakan liar/illegal logging dari sindikat ini banyak diekspor ke luar negeri seperti ke China, Malaysia, Singapura, bahkan ke Eropa (Hutabarat, 2007).

Permasalahan pokok mengapa pembalakan liar/illegal logging menjadi sulit sekali diberantas, karena konsistensi dan komitmen pemerintahan sendiri agar taat hukum dan berani melakukan penindakan tidak terlaksana (Hutabarat, 2007). Lebih lanjut Hutabarat (2007) menyebutkan bahwa di Provinsi Riau terdapat 330 rekomendasi Bupati/Walikota yang tidak sesuai dengan prosedur juga sarat KKN yang tidak tersentuh hukum. Inilah faktor yang menyebabkan pemberantasa pembalakan dan perambahan hutan tidak pernah tuntas. Izin yang diberikan juga saling tumpang tindih dengan izin yang sebelumnya dikeluarkan dan izin yang dimiliki oleh masyarakat. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum yang dikeluarkan belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan pembalakan liar/illegal logging di Provinsi Riau tersebut. Selain itu, berbagai kasus pembalakan liar/illegal logging yang telah ditemukan lalu disidik oleh Alat Negara Penegak Hukum yaitu Polri, terakhir menjadi bad precedence, karena berakhir dengan anti klimaks dengan dikeluarkannya SP3 (Surat Pemberhentian Pemerikasaan Perkara). Sementara itu kebijakan nasional kehutanan yang inkonsisten berperan pula dalam miningkatkan laju degradasi hutan Indonesia. Semisal perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Indonesia yang lalu diubah melalui Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004, tercantum dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 86. Perubahan atas alasan “kegentingan yang tak dapat dielakkan” karenanya Perpu dapat diproduksi oleh Kepala Negara yang sekaligus adalah Kepala Pemerintahan Indonesia. Kepala negara memang terus berganti setelahnya melalui Pemilihan Presiden demokratis pertama. Namun dalam kaitan Perppu ini menunjukkan kepada kita semua betapa terlihat jelas sekali pengaruh kuat faktor eksternalitas tak terkendali dari hegemoni kepentingan ekonomi diluar Indonesia yaitu lembaga donor – The Washington Concensus: IMF, World Bank, dan WTO melalui konstitusi RI. Walau pada tahun 2004 lalu Indonesia juga telah menyatakan keluar dari bantuan IMF, namun dengan keluarnya Perppu tersebut bukan berarti cengkraman kuku mereka sudah tidak ada lagi didalam penjajahan sumberdaya alam dan lingkungan hidup milik anak cucu bangsa Indonesia dipertegas melalui Perpu yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden ke 5 RI pada akhir jabatannya ditahun 2004. Kepentingan jangka pendek sepihak dibalut alasan politik-ekonomi jangka pendek menjebak konstitusi hukum positif Indonesia serta mengabaikan prinsip kelestarian ekosistem dan hutan lestari menuju konsep ideal pembangunan berkelanjutan/sustainable development – keberlanjutan, kenaekaragaman, keterikatan, kemandirian, ketangguhan.

Rais (2008) menunjukkan perubahan undang-undang melalui Perpu tersebut tersebut sangat bersifat eksploitatif dengan mengedepankan liberalisasi ekonomi bersifat pro kepada pasar bebas dibandingkan berfikir kepada proses pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut searah dengan kandungan makna harfiah dalam amandemen yang telah terjadi sebanyak 4 kali atas ruh keberadaan negeri ini yaitu UUD 45. Didalam UUD 45 Pasal 33 ayat 4 pasca amandemen ditambahkan dua suku kata berkarakter liberal yaitu demokrasi ekonomi. Kata demokrasi sendiri memiliki tesis kebebasan atau liberalism. Karena demokrasi terbangun atas 3 elemen dasar, yaitu liberte-egalite-fraternite. Liberte adalah liberal, sehingga didalam nafas demokrasi selalu harus ada kebebasan. Tapa unsur kebebasan maka tidak ada demokrasi. Ekonomi sendiri bermakna aktivitas yang terkait dengan penjualan dan pembelian yang memiliki nilai dan harga. Sangat berbahaya ketika ekonomi bersifat demokratik. Karena begitu entitas ekonomi menjadi bersifat demokratis maka akan berimplikasi pada penguasaan aset sumberdaya yang berpolarisasi hanya kepada yang kuat semata/padat modal/pemilik kapital besar. Sehingga akan sangat menutup kemungkinan akses bagi kelompok masyarakat yang sebaliknya. Yang lemah pasti akan kalah/ tersingkir, yang kecil pasti akan mati, dan yang miskin akan menjadi semakin miskin. Karakter yang terbangun adalah bersifat homo homini lupus bermakna manusia menjadi serigala atas manusia lainnya.[4]

Di dalam skala global, Indonesia dalam tata kelola pemerintahannya sepihak masih lemah akan cenderung menggantungkan kebutuhannya kepada lembaga donor dari negeri maju berekonomi kuat. Rais (2008) menyebutkan signifikansi pengaruh dari The Washington Concensuss yang terdiri dari (IMF, World Bank, dan WTO) atas penguasaan hajat hidup orang banyak di Indonesia terjadi sudah sejak lama. Sejak saat Presiden pertama Indonesia terjadi intervensi mereka melalui aktivitas sosial-politik ditahun, 1966. Bung Karno yang terkenal dengan jargonnya “... go to hell with your aid America” itu, pasca seluruh aktivitas positif menasionalisasi seluruh perusahaan asing yang ada di Indonesia, beliau terpaksa harus menelan kata-katanya sendiri. Tidak banyak anak bangsa Indonesia yang tahu – masyarakat luas Indonesia tidak pernah diajarkan selama ini dibangku sekolahnya – bahwa sebelum lengsernya Bung Karno sempat mengeluarkan 3 buah Keppres terakhir yang bila ditilik pada tabiat/karakter resmi Bung Karno hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Yaitu dengan dikeluarkannya Kepres 7, 8, 9 Tahun 1966 yang terkandung didalamnya kata-kata IMF (Bashwir, 2008). Jadi sesungguhnyalah walau Indonesia telah enam kali kita ganti Presiden sebenarnya tidak ada perubahan signifikan terkait dengan cohesive dan coherance antara logo Garuda Pancasila, letak arah pandangan kepala burung garuda didalam logo tersebut yang kearah ekstrim kanan (dalam dua dimensi), dan kandungan isi yang berada didalam perisai sakti logo burung garuda terbentuk atas kedaulatan Indonesia dari penjajahan asing dan peningkatan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia.

Makna filosofis dari logo Garuda dan Pancasila dengan kesadaran penuh disalahmaknakan oleh oknum elit pemimpin negeri ini atas pengaruh dominan faktor eksternalitas tak terkendali. Isi kandungan Pancasila sangat bersifat sosialistik dan dekat dengan pemaknaan keadilan sosial yang diajarkan oleh agama-agama Samawiah. Yang menyiratkan harus adanya proteksi melalui intervensi dari penguasa negara yang memiliki kewenangan untuk melindungi rakyatnya secara adil dan setara sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun dalam implementasinya sebagai negara yang baru lahir, apa yang terkandung dalam Pancasila dan pembukaan UUD 45 berserta isinya terus diganggu oleh kelompok neo-kolonialisme yang berusaha kembali menjajah melalui penguasaan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sampai hari ini.

Terkait dengan kondisi Indonesia pada periode pemerintahan Presiden ke 6 Indonesia, dimana rakyat sempat mengusung harapan tinggi atas pilihan kampanye bernafas kerakyatan, namun kemudian harapan menjadi pupus ketika menyaksikan susunan kabinet ekonominya sejak tahun pertama. Mereka sejelasnya adalah perpanjangan tangan dari kelompok The Washington Concencuss (IMF, World Bank, dan WTO) (Radhi, 2009). Diperlukan seorang calon Presiden Pro-Rakyat yang bukan hanya sekedar jargon semata demi pemenangan Pipres 2009 ini sementara cita-cita murni yang ditoreh sebenarnya berpihak kepada liberalisasi ekonomi dan pasar bebas tanpa intervensi signifikan keberpihakan kepada rakyat madani kebawah. Bila Indonesia kembali salah didalam memilih ‘Ratu Adil’-nya, maka kiamat kecil melalui kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia menjadi in evitable (tak terelakkan).

Lebih lanjut Radhi (2009) mengatakan bahwa beberapa hari menjelang pengumuman resmi sebagai Presiden RI pertama yang terpilih secara langsung oleh rakyat, Yudhoyono sebagai salah seorang kandidat Presiden RI ke 6 berhasil menggelar Doktor dalam Ilmu Ekonomi Pertanian dari IPB, Bogor, Yudhoyono memang nyata mampu mempertahankan disertasinya dengan nilai excellent dihadapan para tim pembimbing dan penguji yang tentu tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya (Radhi, 2009). Disertasi yang berjudul “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal” saat itu memang terasa sangat pas dengan harapan sebagian besar rakyat Indonesia yang agraris ini dimana mayoritas hanya merupakan buruh tani. Termasuk juga masih tingginya jumlah kemiskinan serta pengagguran.

Dimana wilayah pertanian adalah merupakan wilayah hilir dimana kehidupan mother of land, dan hutan sebagai hulunya. Jadi sesungguhnya bagaimanapun sempurnanya disain pembangunan pertanian terpadu dan berkelanjutan, bila menejemen kehutanannya tidak diurus dengan pendekatan pembangunan terpadu dan berkelanjutan juga, maka semuanya hanya akan bagus diatas kertas semata. Demikian pula dengan konsep pembangunan pertanian yang ditawarkan oleh Yudhoyono yang kini adalah Presiden ke 6 RI, tidak akan dapat berjalan dengan sempurna bilamana sumber kehidupan pertanian yang ada dihulunya yaitu hutan tropis Indonesia tidak saling terkait, tidak sinergitas, dan tidak holistik dalam konsep pertanian terpadu berkelanjutan sesuai dengan apa yang pernah dituliskan didalam disertasinya.

Beberapa kunci pemecahan masalah penting pro-rakyat seperti yang tertulis jelas didalam disertasinya semisal: Pertama, kebijakan fiskal harus diarahakan untuk memperbesar pengeluaran pemerintah dibidang infrastruktur, terutama infrastruktur pedesaan. Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur maka semakin baik pula kontribusinya terhadap pengurangan jumlah penganggguran. Kedua, upaya peningkatan uah riil yang harus diprioritaskan pada peningkatan upah disektor pertanian, utamanya bagi upah buruk tani, akan semakin tinggi pula penghasilan rakyat miskin sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan dipedesaan. Ketiga, pengurangan subsidi harus dilaksanakan secara bertahap, sehingga pemberian subsidi akan menjadi tapat sasaran dalam rangka mencapai keadilan. Untuk itu pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada para pihak yang memang tidak pantas menerima subsidi. Selain itu pemerintah harus menyalurkan dana pengurangan subsidi tersebut untuk meringankan beban bagi rakyat miskin dengan memperbesar dana bantuan untuk program beras untuk rakyat miskin (raskin), dana kesehatan, dan pendidikan bagi kaum miskin. [5]


Problem Indonesia hari ini didalam kepemimpinan Presiden ke 6 RI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan adalah ketidakkonsistenannya didalam mengimplementasi janji-janji saat kampanye ketika telah terpilih menjadi Presiden ke 6 Indonesia. Komitmen kebijakan pro-rakyat yang sempat melambungkan harapan bagi rakyat disaat itu sampai hari ini terbukti hanya sebatas jargon semata. Bahkan konsep Trilogi Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yaitu pro poor, pro growth, dan pro job dimana ketiga elemen dalam konsep tersebut hanya semata mengacu kepada aspek pertumbuhan semata[6] yang tidak menunjukkan keberpihakannya kepada pembangunan yang berkelanjutan/sustainable development yang memiliki elemen pemerataan dalam skala ekonomi mikro. Karena aspek pertumbuhan/growth didalam konsep penganut aliran ekonomi klasik liberal adalah stabilitas makro ekonomi semata yang merujuk kepada benefit para pemadat modal yang utamanya. Dimana disaat bersamaan trickle down effect tidak terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep Trilogi Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) tersebut tidak lebih dari keberpihakan pada meneruskan konsep dan kebijakan rezim Orde Baru yang sampai hari ini masih sangat kokoh berakar serta masih banyak pengikutnya. Selama berjalanannya masa transisi, rezim Orde Reformasi yang dikatakan reformis masih cenderung belum pro-rakyat dan terlihat jelas dalam beberapa produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan kemanusiaan dan sumberdaya alam serta lingkungan hidup.

Terkait dengan masalah tersebut diatas, prilaku birokrasi didalam jajaran administrasi negara sejauh ini terlihat mendapatkan pengaruh kuat dari kokohnya pembangunan paradigma dari masa rezim yang lalu tersebut. Yaitu meminggirkan kepentingan rakyat (unsur sosial dalam konsep Segitiga Munasinghe). Dikaitkan dengan perkembangan efektifitas pemberantasan pembalakan liar/illegal loging di Indonesia, maka tidak terlepas dari interaksi politik-ekonomi-sosial dengan seluruh faktor determinan tersebut diatas. Ketika pasar adalah semata keramaian dalam percaturan ekonomi yang hanya melibatkan segelintir pelaku semata yang menjalankan fungsinya, yaitu sebagai:
1) Kelompok penguasa dana baik yang bersifat sebagai ‘komprador’ yang menerima titipan dana dari luar negri, maupun penyandang dana dari dalam negri yang diduga sebagai ‘pencuri’ dana publik;
2) Kelompok penguasa stok barang yang sekaligus menguasai jalur distribusinya termasuk mereka yang melakukan aktivitas penimbunan, pengijonan, dan penyelundupan;
3) Kelompok spekulan, baik yang bermain ditingkat pasar input maupun output serta yang bermain dipasar uang dan pasar modal (Swasono dalam Radhi, 2009).

[1] Rahardjo (2002) dalam Amin (2007)
[2] Saragih (1985) dalam Amin (2007)
[3] Aviliani (Januari, 2009), diskusi dalam Seminar Launching Mubyarto Institut di Sahid Hotel, Jakarta
[4] Umar Seno Adji (1982), Guru Besar Hukum Pidana UI, dalam in depth interview kuliah Hukum Pidana, di FH-Universitas Trisakti Jakarta
[5] Susilo Bambang Yudhoyono, Disertasi Doktor EP-IPB, 2004
[6] Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia Unggul: Kumpulan Pemikiran dan Tulisan Pilihan.
2008. Jakarta: Bhuana Ilmu Polpuler, hal 68-69

Marissa Haque Terpilih Menjadi Duta WWF untuk Badak Cula Satu Banten

Marisa Haque bersama staff Ujung Kulon berbagi cerita tentang uapaya pelestarian Badak/Desma


Marissa Haque: Sang Duta yang Gigih memperjuangkan Pelestarian Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)

Selain menjadi anggota DPR komisi IV yang membawahi bidang lingkungan, Marissa Haque juga merupakan selebritis dan produser film yang sangat peduli pada kelestarian Badak Jawa. Kepeduliannya diwujudkan dengan kesediaannya menjadi Duta bagi Badak Jawa, yang jumlahnya tinggal kira-kira 50-60 ekor.


Sebagai duta, Marissa juga ikut menyebarluaskan informasi tentang pentingnya pelestarian Badak, bahkan ia terlibat langsung dalam pembuatan film dokumenter tentang badak jawa yang saat ini masih dikerjakannya. Marissa selalu mengaitkan berbagai isu sosial ekonomi dengan pelestarian badak, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. “Saya akan bantu untuk mencari pasar ekspor bagi patung-patung badak yang dibuat oleh masyarakat sekitar,” tegasnya.


Diskusi santai di areal food court ini tidak hanya membicarakan Badak Jawa saja, tetapi juga berbagai aspek pelestarian terkait lainnya yang tidak boleh diabaikan untuk menjamin kelestariannya, mulai dari isu Usaha Kecil Menengah (UKM) hingga isu pemberdayaan perempuan. Tim WWF-Ujungkulon dengan kompaknya berbagi cerita tentang berbagai upaya yang dilakukan untuk melestarikan Badak Jawa ditengah situasi pelanggaran batas hutan dan penebangan liar yang marak terjadi di sekitar TN Ujung Kulon.

Iwan ‘Podol’, peneliti WWF-Indonesia di Ujungkulon membahas keadaan hewan yang perburuannya sudah dihentikan sejak tahun 1990-an ini. Pengalaman sehari-hari dilapangan saat melaksanakan uapay pelestarian dan perlindungan badak jawa, mengalir lancar dari Pak Uus, anggota Rhino Patrol Unit dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Sementara Bapak Warca, ketua Koperasi Kagum dan Pak Komar dari Wakil Masyarakat Ujung Kulon bercerita bagaimana kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pembuatankerajinan, khusunya patung badak, wisata lingkungan, dan penyaluran credit union di sekitar Taman Nasional berdampak positif bagi upaya perlindungan lingkungan secara keseluruhan.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah demonstrasi pembuatan patung badak, demo pembuata T’shirt badak, pameran foto hasil tangkapan camera traps, dan tentunya acara door prize. Sesi tanya jawab antara para nara sumber dengan peserta sangat dinamis, tampaknya selain pemandu acaranya memang piawai memancing minat peserta, tampaknya masyarakat mulai menyadari arti penting ikut berperan serta dalam upaya pelestarian lingkungan.

Besar harapan, semoga dimasa mendatang bukan hanya seorang Marisa Haque saja yang bersedia menjadi duta, tetapi muncul duta-duta lainnya dengan kegigihan dan keseriusan untuk melestarikan lingkungan.

Mantan Purek 4 IPB, Dr. Asep Saefuddin Pasca Penyuluhan Anti Flu Burung H5N1: Marissa Haque

Mantan Purek 4 IPB, Dr. Asep Saefuddin Pasca Penyuluhan Anti Flu Burung H5N1.

Mantan Purek 4 IPB, Bogor bernama Dr. Asep Sefuddin. Semasa menjabat, Pak Dr. Asep sering mengundang saya dan Ikang suamiku untuk datang kerumahnya dalam rangka silaturahmi. Pembicaraan sangat nyambung karena Ikang suamiku pernah tinggal lama di Tokyo, Jepang bersama keluarganya dari Deplu. Disaat kami dirumah beliau, Pak Asep seringkali memasak sendiri makanan Jepang untuk kami para tamunya dari Banten, Bintaro.

Belakangan ini dibulan suci Ramdahan ini, tiba-tiba Ikang dan saya merasa kangen dengan keluarga Pak Asep beserta seluruh keramah-ramahan beliau sekeluarga. Rasanya sudah sangat lama kami tidak pernah kerumah Pak Dr. Asep lagi di Bogor. Dulu Pak Dr. Asep adalah salah seorang dosen yang sangat ingin saya mengambil Program S3 Ilmu Lingkungan Hidup di IPB -- saat itu saya masih menjadi anggota DPR RI.

Dibulan suci Ramadhan 2009 ini, didalam doa panjang kami setelah sholat Tarawih, kami sekeluarga mendoakan agar Pak Dr. Asep sekeluarga panjang umur, murah rezeki serta sehat wal afiat selalu.

Selamat berpuasa ya Pak Asep, Bu Asep, sekeluarga yang disayang Allah...
Salam dari kami sekeluarga di Pelangi Bintaro, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.

Water Reflecs the Meaning of Life: Marissa Haque

Bintaro, Jakarta, February 21, 2004

Water Reflecs the Meaning of Life: Marissa Haque
(Amidst the flood that hits Indonesia)

Water is the source of life.

It is very flexible and can easily adapt itself to anything.

If its course is blocked by a rock, then it will choose another one and continues flowing down towards its destination.Water also behaves modesty, because it always flows to a lower place.

If the temperature rises, it evaporates, goes up to the sky and afterwards comes down again on the earth.

Water cleans everything; it floods the rice fields in the dry season; it cleans dust and makes the soil fertile.

According to a story, when the rain falls, thousands of angels come down with it.

But if the rains come down in torrents and continuously, like what is happening in the last few days in Indonesia, then there might be something wrong in the relations between men and water.

Water will become men’s friend if we treat it in s friendly way, but if we don’t do it, it will destroy us.

In life, water is an indicator of the quality of men in the eyes of God the Almighty.

Marissa Haque, Hutan Riau & Kebijakan Sebelah Mata Rezim Presiden SBY


Disaat melakukan riset dipedalaman hutan Provinsi Riau untuk melihat dengan mata kepala sendiri praktik illegal logging, saya Marissa Haque mahasiswi Program Doktor PSL, IPB melakukannya dengan sangat serius serta bertanggung jawab.

Insya Allah sejujurnya, selama masa hampir dua tahun -- masa research conducting dari tahun 2007-2008 akhir -- saya banyak menemukan fakta lapangan terkait kondisi lingkungan hidup yang sangat memilukan dihutan Provinsi Riau. Secara nyata dan apa adanya, peran negara sebagai penyelenggara sustainable development tidak nyata terbangun disana.

SDALH (sumber daya alam dan lingkungan hidup) di Provinsi Riau saya duga hanya menjadi super komoditas politik menjelang Pemilihan Gubernur Provinsi Riau 2008 kemarin.

Adakah masyarakat Riau 'berteriak' atas HAM yang mereka miliki? Dana apakah pemerintah Rezim SBY perduli terhadap ECOCIDE yang terjadi secara sistemik demi meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) semata demi performance best economic growth of Indonesia?

Disertasi Doktorku insya Allah memberikan salah satu jalan keluar terhadap kondisi memilukan di Provinsi Riau secara khusus dan Hutan Tropis Indonesia secara general (umum).

Insya Allah... bila mereka yang terhormat ini berkenan hasil risetku ini dapat dipakai bagi pengambilan keputusan Presiden Dr. H. SBY kedepannya bersama Wapres Prof. Dr. Boediono, untuk menunjang sustainable development of Indonesia.

Prakata (Lama) dalam Disertasi Doktorku dari IPB, Bogor: Marissa Haque

Pembalakan liar/illegal logging marak terjadi di Indonesia. Khusus di Provinsi Riau, pembalakan liar/illegal loging berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, serta kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Indikasi kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar/illegal loging ini ditunjukkan dengan semakin meluasnya kejadian bencana alam semisal banjir badang, kekeringan, kehilangan spesies tumbuhan dan fauna, dan lain sebagainya. Upaya pemberantasan pembalakan liar/lllegal loging ini telah dilakukan sejak lama, namun belum dapat memberikan dampak jera terhadap para pelakunya karena instrumen hukum positif yang tersedia di Indonesia sampai dengan hari ini belum mampu secara maksimal menjerat mereka. Sehingga hingga kini pembalakan liar/lllegal loging masih marak terjadi secara hampir merata diseluruh Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dampak pembalakan pembalakan liar/illegal loging terhadap kondisi ekologi, ekonomi, sosial di Provinsi Riau; (2) menganalisis sistem hukum yang tersedia di Indonesia terkait dengan pemberantasan pembalakan liar/illegal loging; serta (3) mendesain model kebijakan pemberantasan pembalakan liar/illegal loging yang efektif, efisien dan berkelanjutan dengan partisipasi aktif para stakeholders dibidang kehutanan, transparansi proses peradilan dari tingkat dasar sampai dengan Mahkamah Agung dibantu dengan dukungan perkembangan teknologi informasi.

Dengan terselesaikannya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman,MA selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta kepada Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS, Prof.Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS, dan Prof.Dr. Daud Silalahi,SH dimana masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan masukan dan arahannya sejak dari penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian, sampai dengan terselesaikannya penulisan disertasi ini. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan pahala beribu kali lipat kepada mereka semua dan menjadikan segenap ilmu pengetahuan yang ditransfer kepada penulis melalui Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor akan menjadi amal ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan pemberantasan pembalakan liar/illegal loging di Indonesia pada masa mendatang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir. Surjono Hadi Sutjahjo,MS dan Dr.Ir. Etty Riani,MS, masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor yang membuat mimpi penulis untuk menjadi seorang Doktor dari sebuah respectable university berbasis ilmu eksakta di IPB menjadi kenyataan.

Khusus kepada Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS, selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB yang senantiasa memberikan arahan, motivasi serta dorongan terus-menerus kepada penulis khususnya pada saat dimana rasa percaya diri, semangat juang, menuju seorang intelektual civitas academica sejati terkait dengan proses penyelesaian disertasi ini sering berfluktuasi.
Yang sangat tidak pernah penulis lupakan adalah upaya dan keikhlasan hati Dr.Ir. Asep Saefuddin,MSc dan keluarganya, yang saat itu menjabat sebagai Purek IV Bidang Pengembangan Usaha IPB, dan Bapak Prof.Ir. Rokhmin Dahuri,MSc,PhD yang tanpa lelah terus meyakin diri penulis bahwa PSL-IPB adalah tempat kuliah yang pas bagi saya sebagai seorang legislatif untuk menyelamatkan bumi dari kerusakannya. Dan bahwa program Doktor di PSL adalah jurusan transdisiplin ilmu, sehingga memungkinkan saya dengan latar belakang ilmu hukum dapat mengikutinya. Dengan catatan asalkan lulus tes.
Khusus kepada tiga mutiara cinta penulis Drs. Ahmad Zulfikar Fawzi (Ikang Fawzi) serta kedua anakku Isabella Muliawati (Bella) dan Marsha Chikita (Kiki), terimakasih banyak untuk cinta, pengertian, dorongan semangat yang tak kunjung putus selama ini. Juga permohonan maaf atas sejumlah waktu kebersamaan berkualitas yang menjadi berkurang karena terpakai untuk riset kelapangan serta proses penyelesaian disertasi yang didalam melangkah tidak pernah sederhana.

Kepada (alm) Papa H. Allen Haque dan (alm) Mamaku R.Ay Mieke Soeharijah yang penulis yakini bibit spirit belajar dan kesukaan atas membaca serta mengoleksi buku, mengkliping berita, serta ‘memulung’ ilmu yang tak pernah berhenti, menurun, tumbuh dan berkembang pada diri penulis semenjak kecil sampai seumur sekarang.

Juga kepada Dato’ Fawzi Abdulrani the singing ambassador ayah mertua penulis dan ibu mertua penulis (alm) Ibu Setia Nurul Muliawati binti Mu’min yang selalu mendoakan kelancaran studi dan riset di IPB selama ini.
Tak lupa juga kepada yang setia Sekretaris penulis R.A. Menik Kodrat, Pak Didin Supirku, serta Bambang Jaim anak asuh penulis yang selalu mendampingi siang dan malam, serta dalam suka dan duka. Selalu tepat waktu dan tahan menderita bersama didalam menyiapkan segala fasilitas pendukung selama penyelesaian disertasi ini.

Kepada Bapak Jamal Gozi dan Bapak Riksa dari PT. Sarung Cap Gajah Duduk yang pertamakali tergerak hatinya untuk memberikan sponsor riset awal ke Provinsi Riau diawal tahun 2007. Dari sana, terkait dengan delik pidana pembalakan liar/illegal loging yang sangat marak serta tak terkendali, bersama konsorsium NGO Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) dan Walhi Riau alhamdulillah saya berhasil mengumpulkan banyak data primer dan sekunder. Saya merasa sangat tersanjung ketika Mas Santo sebagai Ketua Jikalahari serta seluruh jajaran tim diantaranya Mas Kaka (Khairiansyah), Mbak Ayu dan Mas Joni Mundung dari Walhi Riau dengan sangat bersahabat menerima saya dan tim untuk bergabung kedalam tim besarnya.

Termasuk kebaikan hati Wakil Gubernur Provinsi Riau asal PPP, Bapak H. Wan Abubakar yang sempat menjadi Gubernur Riau definitif selama tiga bulan dimasa transisi tahun 2008 lalu.

Yang saya sayangi adinda Rozi alias Oji dan Faisal Umar dari harian Tribun Pekanbaru/Persda/grup harian Kompas, yang dengan semangat tinggi selalu memberitakan seluruh kegiatan riset saya hampir dalam setiap kali kunjungan ke Provinsi Riau.

Serta pengahargaan sangat tinggi kepada para polisi teladan Indonesia beserta seluruh jajaran Mapolda Riau, mantan Kapolda Riau saat itu yang sekarang menjadi Gubernur Akpol (Akademi Polisi) di Semarang Bapak Irjen Pol Drs.Sutjiptadi,MM dan istrinya Ibu Ririek Sutjiptadi. Yang dengan penuh kekeluargaan merangkul saya dan tim riset dari unsur sub-element masyarakat didalam langkah besar Polda Riau menertibkan aktivitas pembalakan liar/illegal loging di Provinsi Riau. Berbagi data dan informasi dari hasil kerja optimal Polda Riau saat itu merupakan sebuah ‘kemewahan luar biasa’ bagi saya, mengingat dari sana fokus langkah saya didalam menetukan arah pertanyaan bagi data primer lainnya kemudian menjadi lebih mudah dan terarah.

Kepada Sekretaris Bidang Kepaniteraan MA RI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) Bapak H.R.M Anton Suyatno,SH,MH dan mbak Ayu Verliani,SH yang pada detik-detik terakhir penulisan disertasi ini memberikan informasi tentang sistem IT yang segera pada tahun 2009 ini akan diimplementasikan. MA RI bersama PSHDK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) yang diwakili oleh Mas Arya, SH, LLM berusaha memperbaiki image Mahkamah Agung yang selama ini minor dengan upaya menjawab tantangan zaman dengan instrumen IT, demi menuju Good Judicial Governance institusi peradilan tertinggi Indonesia selain MK (Mahkamah Konstitusi).

Yang saya kasihi Bunda Emilia Contessa dan Pak Usamah suaminya, fungsionaris PPP yang turut memberikan dukungan dana riset pada saat kondisi alokasi dana riset saya semakin menipis, lalu ternyata masih dibutuhkan sekali lagi untuk yang terakhir kali balik kembali ke Provinsi Riau. Kedatangan terakhir tersebut persis seminggu sebelum meninggalnya Pak Kajati Riau saat itu (alm) Djaenuddin,SH,MH. Upaya tersebut adalah untuk langkah konfirmasi penutup/final dalam re-in depth interview dengan Kajati Riau (Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Riau) terkait dengan pertanyaan saya yang belum terjawab tentang parameter yang dipakai oleh Kejaksaan disaat megeluarkan putusan: “... pelaku delik pidana pembalakan liar/illegal loging tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.” Tanpa kedatangan saya terakhir tersebut, tak mungkin saya mendapatkan pandangan awal yang lumayan terbuka terkait crusial points dalam pembuktian delik pidana perbuatan melawan hukum (onrechtmatigheidsdaad) delik pidana pembalakan liar/illegal loging, yang selama ini diduga membuat berkas penyidikan prima Polda Riau harus dibuat menjadi sembilan kali bolak-balik antara Polri-Kejaksaan yang berujung antiklimaks dengan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Perkara) pada bulan Desember 2008 lalu.

Khusus kepada Ustad Ahmad Jaro salah seorang Mursyid Tasawuf saya dan asistennya Ketua Yayasan Hasbunallah Mas Tri beserta seluruh keluarga besar Yayasan Hasbunallah dari Kota Tanjung, Kalsel. Jazakillah khoir atas doa yang tak pernah berhenti dipanjatkan bagi keselamatan saya dan tim NGO, yang mendampingi selama berada dihutan Provinsi Riau. Dan juga dana urunan dari jamaah yang diam-diam selalu dimasukkan kedalam tas atau koper saya selama kunjungan spiritual ke Tanjung kemarin, sebagai ekspresi dukungan penuh atas upaya dan kerja keras saya didalam membantu NKRI memerangi pembalakan liar/illegal loging.

Yang terhormat Duta Besar RI di Belanda Bapak Fanny Habibie yang secara sangat surprise dengan segala kerendahan hati terketuk hati terdalamnya yang saya yakini dikirim oleh Allah SWT untuk menjawab doa panjang saya agar memperoleh kemudahan dana bagi pemenuhan ujian terbuka Doktor saya ini. Pak Fanny menelpon saya langsung dari KBRI di Wassenaar, Belanda tengah malam buta waktu Banten, dan keesokan siang dana hibah beliau langsung masuk kerekening saya dengan jumlah persis sama dengan kebutuhan prosedur administrasi ujian terbuka program Doktor PSL-IPB.

Yang terkasih keluarga besar PPP di Kalimantan Selatan, Bapak Gubernur Rudi Arifin dan Ketua DPRD Kalsel Bapak Saiful Tamliha yang juga membantu menambah biaya sponsor untuk ujian terbuka Doktor saya pada menit-menit terakhir dibutuhkan.

Yang membantu disaat tak terduga belakangan ini, Ketua Umum PPP Bapak Drs.H.Surya Dharma Ali,MSi dan istri Ibu Dra.Hj.Wardatul Asriah yang mendorong penulis agar serius menyelesaikan ujian akhir program Doktor ini agar bersegera dapat menambah jumlah kader intelektual PPP untuk bersama merancang kebangkitan ummat dalam waktu dekat ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang dengan ketulusan dan keikhlasannya telah membantu penyelesaian studi Doktoral di IPB ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan oleh anda semua kepada saya. Amin.

Semoga disertasi ini walau kecil dan sederhana dapat memberikan setitik sumbangsih harap langkah awal yang paling krusial dan paling jarang dilirik bagi penegakan hukum berdampak jera, untuk seluruh pelaku delik pidana pembalakan liar/illegal loging di Indonesia. Kedepannya Indonesia menunggu kedatangan seorang pemimpin ‘Ratu Adil’ yang ikhlas memberikan keberpihakan pikiran, hati, energi, dan pengaruh kewenangan keputusannya bagi perlindungan keseimbangan lingkungan hidup dan kelestarian hutan tropis Indonesia.

Bogor, April 2009.
MARISSA GRACE HAQUE

Marissa Haque Bersama Forum Diskusi Jikalahari di Pekanbaru, Riau

Kepada: milis-kammi@ yahoogroups. com

Terkirim: Rabu, 25 Juni, 2008 05:38:15

Topik: [Milis KAMMI] (24/06)

Artis cantik sekaligus politikus perempuan terkenal Marissa Haque di sela-sela kunjungannya ke Riau dalam rangka merampungkan bahan-bahan desertasi gelar Doktornya menyempatkan mengunjungi sekretariat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau yang terletak di Jalan Bangau Sakti Gg. Pipit Kel. Simpang Baru-Panam.

Hari itu memang bertepatan pada jadwal Rapat Badan Pengurus Harian aktivis KAMMI Riau sehingga seluruh pengurus dapat berdiskusi langsung dengan artis sekaligus politikus yang akrab dipanggil dengan mba Ica ini.

Dalam kunjungan silaturahimnya ke KAMMI Riau, emba Ica lebih banyak memaparkan keprihatinannya melihat kemiskinan rakyat Riau yang tersistematik akibat ulah para pemimpin daerah ini yang mendukung usaha pembalakan liar. “Saya senang berdiskusi dengan aktivis mahasiswa, karena mereka semua adalah calon pemimpin”.

Selain itu juga emba Ica memberikan motivasi kepada aktivis KAMMI agar bersemangat dalam menuntut ilmu dan meraih pendidikan setinggi-tingginya agar kelak menjadi pemimpin dapat berjalan dengan sukses. “Kalau ilmu Agama mungkin di KAMMI lebih kental, hendaknya ini perlu didukung dengan ilmu-ilmu praktis agar dapat menyelesaikan setiap problem rakyat kita yang semakin hari semakin banyak.

”Effendi Muharram, Ketua KAMMI Riau menuturkan “Keprihatinan mba Ica sama seperti KAMMI, kita akan tetap komit untuk memperjuangkan agar Riau kedepan bersih dari para pemimpin yang pro pembalakan liar. Apalagi menjelang Pilgubri, kita akan melakukan kampanye permanen agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang mendukung atau bahkan menjadi pelaku dari pembalakan liar tersebut”

Di akhir acara, mba Ica juga menyampaikan terimakasih kepada masyarakat Riau yang selama ini mendukung dan membantu usahanya selama penelitian gelar S3nya, terlebih kepada teman-teman JIKALAHARI (Jaringan Kerja Peneyelamat Hutan Riau) yang pada kesempatan kunjungan ke KAMMI Riau juga turut hadir diwakili oleh Bang Anto.

Rencananya dua pekan lagi Desertasi mba Icha akan disidangkan di ruang yudisium pasca sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

(Humas KAMMI Daerah Riau)

Elit Politik Indonesia yang Reluctant terhadap SDALH: Marissa Haque

Blog ini akan berisi seluruh kegiatan saya Marissa Grace Haque didalam penyelesaian disertasi Doktor dari PSL-IPB dengan kekhususan PenanggulanTambah Gambargan Illegal Logging dari sisi hukum dan kebijakan di Indonesia dan Tambah Gambarbagaimana politik lingkungan hidup di Indonesia ternyata sangat senditif karena sebagian besar bersinggungan dengan delik pidana lingkungan hidup dan pemimpin elit tertinggi negeri ini yang sangat reluctant!

Kepedulian dan tugas kita semua tanpa terkecuali untuk menyuarakan keadilan lingkungan hidup berkelanjutan di Indoensia demi anak-cucu kita dimasa depan.
Zamrud khatulistiwa yang dulu pernah kita banggakan dimasa lalu, hari ini telah berubah sebagian besar hanya menjadi akik! Kita harus bangkit, suarakan sustainable development, pembangunan berkelanjutan!

Tantanglah para calon Presiden RI 2009 yang akan datang, siapa diantara mereka yang paling peduli dengan lingkungan hidup Indonesia yang berkelanjutan. Jangan ragu tanyakan apa konsep mereka terhadap pelestarian lingkungan hidup di Indonesia.

Allahu Akbar! Kita belum merdeka!

Wajib Melawan Illegal Loging di Provisi Riau: Marissa Haque

Masyarakat Riau Jangan Pilih Illegal Logger



Laporan: Faisal Umar, Tribun Pekanbaru.

[Selasa 24/06/08, 21:47:03]

PEKANBARU, TRIBUN - Puluhan mahasiswa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau, BEM Unri dan UIN terlihat menunggu kedatangan rombongan Marissa Haque ke sekretariat di Jalan Bangau Sakti Panam, Selasa (24/6).

Di ruangan yang sederhana, mereka menerima rombongan Marisa yang bersilaturahim dengan mahasiswa Riau ini.Marissa yang memboyong langsung dua wartawan infotainmen yakni Kisah Informasi Seputar Selebritis (KISS) Indosiar dan Bibir Plus SCTV ini langsung melakukan syuting dengan background mahasiswa Riau tersebut.

Layak seorang dosen, istri Ikang Fawzi itu berceramah di depan para mahasiswa. Marisa lebih banyak bercerita tentang hukum, politik, dan keterkaitan langsungnya dengan kerusakan lingkungan hidup khususnya di Provinsi Riau. Sebagai sarjana hukum dan seorang politisi Marisa lebih banyak menjabarkan makna kedua istilah tersebut.

Yellow Margot

Yellow Margot
Fokus IPB, Biologi dan Sosial, Marissa Haque Fawzi, Program Doktor Lingkungan Hidup, 2009

Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, Mengamati Alam Meracik Model Sistem Lingkungan untuk Indonesia

Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, Mengamati Alam Meracik Model Sistem Lingkungan untuk Indonesia
Dr.Hj. Marissa Haque Ikang Fawzi, Mengamati Alam Meracik Model Sistem Lingkungan untuk Indonesia

Modelling Grid of Earth

Modelling Grid of Earth
Modelling Grid of BUMI

Alur Ekologis

Alur Ekologis
Alur Ekologis, PSL, IPB,Marissa Haque

Alur Ekosistem

Alur Ekosistem
Alur Ekosistem

Sempat Mendukung Program Dekan Pasca IPB, Bogor

Sempat Mendukung Program Dekan Pasca IPB, Bogor
Marissa, Haque, Bapak Ismet (Bupati Kab.Tangerang/Pamannya Ikang Fawzi), Dekan Pasca Sarjana IPB, in UMKM Introduction for Mauk in Banten, 2006

Species Dilindungi Toco Toucan

Species Dilindungi Toco Toucan
Marissa Haque, Penggemar Toco Toucan

Catatan Pemekaran Wilayah Indonesia

Catatan Pemekaran Wilayah Indonesia
Politik Indonesia & Laju Kecepatan Kerusakan Lingkungan Hidup