Terkait dengan dikeluarnya SP-3(Surat Pemberhentian Pemeriksaan Perkara) oleh Kapolda Riau yang baru periode tahun 2008 keatas yang secara terbuka serta diketahui umum dinyatakan bahwa dilakukan ‘atas perintah Mabes Polri’ pada tanggal 22 Desember 2007 lalu. Meredupkan harapan masyarakat yang sempat membumbung atas penegakan hukum yang transparan, berkeadilan, serta tidak tebang pilih di Indonesia yang pernah dilaksanakan oleh Kapolda Riau periode sebelumnya. Rupanya dampak negatif pembalakan liar/illegal loging yang telah berdampak besar terhadap kelestarian ekologis dan sosial-ekonomi masyarakat luas dan terjadi di hampir semua kawasan di provinsi ini, baik di hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi, dan juga yang telah diselidik serta disidik secara serius oleh tim Kapolda lama dengan melibatkan sejumlah elemen NGO dan masyarakat umum demi mendukung pembangunan yang berkelanjutan/
sustainable development di Indonesia, tidak sejalan dengan pertimbangan kebijakan oknum elit pemerintah pusat menuju Pemilihan Presiden 2009 yang akan datang yang pro kepada padat modal dan pertumbuhan ekonomi makro tanpa menghiraukan keseimbangan pembangunan berwawasan lingkungan/
sustainable development. Alasan atas pertimbangan mendahulukan stabilitas politik, ekonomi makro, dan keamanan negara hanya dilihat dari kacamata searah pemerintah pusat melalui pertimbangan perangkat tim ekonominya tanpa pertimbangan informasi dan partisipasi dari masyarakat luas Indonesia
[3] -- termasuk Provinsi Riau. Mendahulukan kepentingan politik semata tanpa membingkainya dengan hukum termasuk politik lingkungan hidup sangat melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sukardi (2005) menyebutkan beberapa bentuk kegiatan pembalakan liar/illegal loging di kawasan hutan produksi semisal: (1) Menebang di daerah yang kecuramannya melebihi 40%; (2) Menebang di luar batas-batas konsesi; (3) Menebang area hutan lindung yang berbatasan dengan konsesi; (4) Menebang dengan jarak kurang dari 100 m dari sungai, aliran air atau sumber air; (5) Menebang pohon-pohon dari spesies yang dilindungi; (6) Menebang lebih banyak dari volume yang diizinkan; (7) Menebang di daerah yang penting secara budaya seperti wilayah adat dan keagamaan; (8) Menebang daerah tertentu sebelum rotasi regenerasi selesai.
Hutabarat (2007) menyebutkan bahwa dalam pengusahaan hutan ini suatu yang legal bisa menjadi ilegal, misalnya pemegang konsesi menebang pohon di luar blok tebang yang diizinkan untuk tahun RKT berjalan (over cuting). Dalam hal ini penebangan pohon telah terjadi penebangan ilegal di dalam areal konsesi yang legal. Pembalakan liar/illegal loging yang lebih parah terjadi apabila kegiatan terjadi dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki izin hak pengusahaan hutan (HPH), yaitu dengan memasuki kawasan hutan yang tidak diperkenankan untuk dieksploitasi hasil kayunya.
Sebelum tahun 2000, Departemen Kehutanan dan pemerintah kabupaten dapat mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dari hutan alami yang rusak dalam rangka mendirikan hutan tanaman industri atau kawasan perkebunan industri. Pada tahun 2000, Menteri Kehutanan melarang dikeluarkannya izin konversi lahan baru karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa hak konversi memungkinkan banyak pihak untuk menebang area yang luas dari hutan alami sehat, karena sering disertai dengan penggunaan api. Namun, konversi hutan terus berlanjut diseluruh kepulauan Indonesia, karena 212 HTI dan 526 perkebunan telah mengakar sebelum pelarangan di tahun 2000. Keduanya dianggap legal. Tetapi, meluasnya praktek penebangan area hutan alami yang tidak rusak (dengan persediaan kayu lebih dari 20 m3/ha) di dalam kawasan hutan adalah ilegal. Yang juga ilegal adalah ketika pemerintahan kabupaten menerbitkan surat izin baru, atau memperpanjang izin lama yang terletak di dalam kawasan hutan nasional yang termasuk di dalam hutan produksi yang ditujukan untuk konversi. Walaupun UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang dilakukannnya penebangan kayu di kawasan hutan konservasi, namun sampai hari ini banyak pelaku pembalakan liar/illegal logging yang tetap berkeras memasuki hutan konservasi dimana lokasi tersebut menyimpan banyak spesies tegakan pohon dengan nilai komersial tinggi. Hutan konservasi yang umumnya masih virgin forest menjadi target penebangan para pelaku pembalakan liar/illegal logging, setelah potensi hutan produksi lainnya di Provinsi Riau menurun karena tidak pernah ditanam kembali. Kondisi parah akibat pembalakan liar/illegal logging yang hampir sama terjadi diwilayah hutan lindung yang juga memiliki potensi kayu masih tinggi.
Hutabarat (2007) secara tegas menyebutkan bahwa pembalakan liar/
illegal logging adalah suatu perbuatan kriminal/delik pidana yang secara khusus melawan dan menyimpang dari tujuan pengelolaan hutan lestari di Indonesia – sustainable forest management. Indonesia termasuk salah satu sasaran operasi pembalakan liar/
illegal logging yang mempunyai jaringan sindikat skala internasional. Hasil pembalakan liar/
illegal logging dari sindikat ini banyak diekspor ke luar negeri seperti ke China, Malaysia, Singapura, bahkan ke Eropa (Hutabarat, 2007).
Permasalahan pokok mengapa pembalakan liar/
illegal logging menjadi sulit sekali diberantas, karena konsistensi dan komitmen pemerintahan sendiri agar taat hukum dan berani melakukan penindakan tidak terlaksana (Hutabarat, 2007). Lebih lanjut Hutabarat (2007) menyebutkan bahwa di Provinsi Riau terdapat 330 rekomendasi Bupati/Walikota yang tidak sesuai dengan prosedur juga sarat KKN yang tidak tersentuh hukum. Inilah faktor yang menyebabkan pemberantasa pembalakan dan perambahan hutan tidak pernah tuntas. Izin yang diberikan juga saling tumpang tindih dengan izin yang sebelumnya dikeluarkan dan izin yang
dimiliki oleh masyarakat. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum yang dikeluarkan belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan pembalakan liar/
illegal logging di Provinsi Riau tersebut. Selain itu, berbagai kasus pembalakan liar/
illegal logging yang telah ditemukan lalu disidik oleh Alat Negara Penegak Hukum yaitu Polri, terakhir menjadi bad precedence, karena berakhir dengan anti klimaks dengan dikeluarkannya SP3 (Surat Pemberhentian Pemerikasaan Perkara). Sementara itu kebijakan nasional kehutanan yang inkonsisten berperan pula dalam miningkatkan laju degradasi hutan Indonesia. Semisal perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Indonesia yang lalu diubah melalui Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004, tercantum dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 86. Perubahan atas alasan “kegentingan yang tak dapat dielakkan” karenanya Perpu dapat diproduksi oleh Kepala Negara yang sekaligus adalah Kepala Pemerintahan Indonesia. Kepala negara memang terus berganti setelahnya melalui Pemilihan Presiden demokratis pertama. Namun dalam kaitan Perppu ini menunjukkan kepada kita semua betapa terlihat jelas sekali pengaruh kuat faktor eksternalitas tak terkendali dari hegemoni kepentingan ekonomi diluar Indonesia yaitu lembaga donor –
The Washington Concensus: IMF, World Bank, dan
WTO melalui konstitusi RI. Walau pada tahun 2004 lalu Indonesia juga telah menyatakan keluar dari bantuan IMF, namun dengan keluarnya Perppu tersebut bukan berarti cengkraman kuku mereka sudah tidak ada lagi didalam penjajahan sumberdaya alam dan lingkungan hidup milik anak cucu bangsa Indonesia dipertegas melalui Perpu yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden ke 5 RI pada akhir jabatannya ditahun 2004. Kepentingan jangka pendek sepihak dibalut alasan politik-ekonomi jangka pendek menjebak konstitusi hukum positif Indonesia serta mengabaikan prinsip kelestarian ekosistem dan hutan lestari menuju konsep ideal pembangunan berkelanjutan/sustainable development – keberlanjutan, kenaekaragaman, keterikatan, kemandirian, ketangguhan.
Rais (2008) menunjukkan perubahan undang-undang melalui Perpu tersebut tersebut sangat bersifat eksploitatif dengan mengedepankan liberalisasi ekonomi bersifat pro kepada pasar bebas dibandingkan berfikir kepada proses pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut searah dengan kandungan makna harfiah dalam amandemen yang telah terjadi sebanyak 4 kali atas ruh keberadaan negeri ini yaitu UUD 45. Didalam UUD 45 Pasal 33 ayat 4 pasca amandemen ditambahkan dua suku kata berkarakter liberal yaitu demokrasi ekonomi. Kata demokrasi sendiri memiliki tesis kebebasan atau liberalism. Karena demokrasi terbangun atas 3 elemen dasar, yaitu liberte
-egalite-fraternite. Liberte adalah liberal, sehingga didalam nafas demokrasi selalu harus ada kebebasan. Tapa unsur kebebasan maka tidak ada demokrasi. Ekonomi sendiri bermakna aktivitas yang terkait dengan penjualan dan pembelian yang memiliki nilai dan harga. Sangat berbahaya ketika ekonomi bersifat demokratik. Karena begitu entitas ekonomi menjadi bersifat demokratis maka akan berimplikasi pada penguasaan aset sumberdaya yang berpolarisasi hanya kepada yang kuat semata/padat modal/pemilik kapital besar. Sehingga akan sangat menutup kemungkinan akses bagi kelompok masyarakat yang sebaliknya. Yang lemah pasti akan kalah/ tersingkir, yang kecil pasti akan mati, dan yang miskin akan menjadi semakin miskin. Karakter yang terbangun adalah bersifat
homo homini lupus bermakna manusia menjadi serigala atas manusia lainnya.
[4]Di dalam skala global, Indonesia dalam tata kelola pemerintahannya sepihak masih lemah akan cenderung menggantungkan kebutuhannya kepada lembaga donor dari negeri maju berekonomi kuat. Rais (2008) menyebutkan signifikansi pengaruh dari
The Washington Concensuss yang terdiri dari (
IMF, World Bank, dan
WTO) atas penguasaan hajat hidup orang banyak di Indonesia terjadi sudah sejak lama. Sejak saat Presiden pertama Indonesia terjadi intervensi mereka melalui aktivitas sosial-politik ditahun, 1966. Bung Karno yang terkenal dengan jargonnya “...
go to hell with your aid America” itu, pasca seluruh aktivitas positif menasionalisasi seluruh perusahaan asing yang ada di Indonesia, beliau terpaksa harus menelan kata-katanya sendiri. Tidak banyak anak bangsa Indonesia yang tahu – masyarakat luas Indonesia tidak pernah diajarkan selama ini dibangku sekolahnya – bahwa sebelum lengsernya Bung Karno sempat mengeluarkan 3 buah Keppres terakhir yang bila ditilik pada tabiat/karakter resmi Bung Karno hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Yaitu dengan dikeluarkannya Kepres 7, 8, 9 Tahun 1966 yang terkandung didalamnya kata-kata IMF (Bashwir, 2008). Jadi sesungguhnyalah walau Indonesia telah enam kali kita ganti Presiden sebenarnya tidak ada perubahan signifikan terkait dengan cohesive dan coherance antara logo Garuda Pancasila, letak arah pandangan kepala burung garuda didalam logo tersebut yang kearah ekstrim kanan (dalam dua dimensi), dan kandungan isi yang berada didalam perisai sakti logo burung garuda terbentuk atas kedaulatan Indonesia dari penjajahan asing dan peningkatan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia.
Makna filosofis dari logo Garuda dan Pancasila dengan kesadaran penuh disalahmaknakan oleh oknum elit pemimpin negeri ini atas pengaruh dominan faktor eksternalitas tak terkendali. Isi kandungan Pancasila sangat bersifat sosialistik dan dekat dengan pemaknaan keadilan sosial yang diajarkan oleh agama-agama Samawiah. Yang menyiratkan harus adanya proteksi melalui intervensi dari penguasa negara yang memiliki kewenangan untuk melindungi rakyatnya secara adil dan setara sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun dalam implementasinya sebagai negara yang baru lahir, apa yang terkandung dalam Pancasila dan pembukaan UUD 45 berserta isinya terus diganggu oleh kelompok neo-kolonialisme yang berusaha kembali menjajah melalui penguasaan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sampai hari ini.
Terkait dengan kondisi Indonesia pada periode pemerintahan Presiden ke 6 Indonesia, dimana rakyat sempat mengusung harapan tinggi atas pilihan kampanye bernafas kerakyatan, namun kemudian harapan menjadi pupus ketika menyaksikan susunan kabinet ekonominya sejak tahun pertama. Mereka sejelasnya adalah perpanjangan tangan dari kelompok The Washington Concencuss (IMF, World Bank, dan WTO) (Radhi, 2009). Diperlukan seorang calon Presiden Pro-Rakyat yang bukan hanya sekedar jargon semata demi pemenangan Pipres 2009 ini sementara cita-cita murni yang ditoreh sebenarnya berpihak kepada liberalisasi ekonomi dan pasar bebas tanpa intervensi signifikan keberpihakan kepada rakyat madani kebawah. Bila Indonesia kembali salah didalam memilih ‘Ratu Adil’-nya, maka kiamat kecil melalui kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia menjadi in evitable (tak terelakkan).
Lebih lanjut Radhi (2009) mengatakan bahwa beberapa hari menjelang pengumuman resmi sebagai Presiden RI pertama yang terpilih secara langsung oleh rakyat, Yudhoyono sebagai salah seorang kandidat Presiden RI ke 6 berhasil menggelar Doktor dalam Ilmu Ekonomi Pertanian dari IPB, Bogor, Yudhoyono memang nyata mampu mempertahankan disertasinya dengan nilai excellent dihadapan para tim pembimbing dan penguji yang tentu tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya (Radhi, 2009). Disertasi yang berjudul “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal” saat itu memang terasa sangat pas dengan harapan sebagian besar rakyat Indonesia yang agraris ini dimana mayoritas hanya merupakan buruh tani. Termasuk juga masih tingginya jumlah kemiskinan serta pengagguran.
Dimana wilayah pertanian adalah merupakan wilayah hilir dimana kehidupan mother of land, dan hutan sebagai hulunya. Jadi sesungguhnya bagaimanapun sempurnanya disain pembangunan pertanian terpadu dan berkelanjutan, bila menejemen kehutanannya tidak diurus dengan pendekatan pembangunan terpadu dan berkelanjutan juga, maka semuanya hanya akan bagus diatas kertas semata. Demikian pula dengan konsep pembangunan pertanian yang ditawarkan oleh Yudhoyono yang kini adalah Presiden ke 6 RI, tidak akan dapat berjalan dengan sempurna bilamana sumber kehidupan pertanian yang ada dihulunya yaitu hutan tropis Indonesia tidak saling terkait, tidak sinergitas, dan tidak holistik dalam konsep pertanian terpadu berkelanjutan sesuai dengan apa yang pernah dituliskan didalam disertasinya.
Beberapa kunci pemecahan masalah penting pro-rakyat seperti yang tertulis jelas didalam disertasinya semisal: Pertama, kebijakan fiskal harus diarahakan untuk memperbesar pengeluaran pemerintah dibidang infrastruktur, terutama infrastruktur pedesaan. Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur maka semakin baik pula kontribusinya terhadap pengurangan jumlah penganggguran. Kedua, upaya peningkatan uah riil yang harus diprioritaskan pada peningkatan upah disektor pertanian, utamanya bagi upah buruk tani, akan semakin tinggi pula penghasilan rakyat miskin sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan dipedesaan. Ketiga, pengurangan subsidi harus dilaksanakan secara bertahap, sehingga pemberian subsidi akan menjadi tapat sasaran dalam rangka mencapai keadilan. Untuk itu pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada para pihak yang memang tidak pantas menerima subsidi. Selain itu pemerintah harus menyalurkan dana pengurangan subsidi tersebut untuk meringankan beban bagi rakyat miskin dengan memperbesar dana bantuan untuk program beras untuk rakyat miskin (raskin), dana kesehatan, dan pendidikan bagi kaum miskin.
[5]Problem Indonesia hari ini didalam kepemimpinan Presiden ke 6 RI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan adalah ketidakkonsistenannya didalam mengimplementasi janji-janji saat kampanye ketika telah terpilih menjadi Presiden ke 6 Indonesia. Komitmen kebijakan pro-rakyat yang sempat melambungkan harapan bagi rakyat disaat itu sampai hari ini terbukti hanya sebatas jargon semata. Bahkan konsep Trilogi Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yaitu pro poor, pro growth, dan pro job dimana ketiga elemen dalam konsep tersebut hanya semata mengacu kepada aspek pertumbuhan semata
[6] yang tidak menunjukkan keberpihakannya kepada pembangunan yang berkelanjutan/sustainable development yang memiliki elemen pemerataan dalam skala ekonomi mikro. Karena aspek pertumbuhan/growth didalam konsep penganut aliran ekonomi klasik liberal adalah stabilitas makro ekonomi semata yang merujuk kepada benefit para pemadat modal yang utamanya. Dimana disaat bersamaan trickle down effect tidak terjadi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep Trilogi Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) tersebut tidak lebih dari keberpihakan pada meneruskan konsep dan kebijakan rezim Orde Baru yang sampai hari ini masih sangat kokoh berakar serta masih banyak pengikutnya. Selama berjalanannya masa transisi, rezim Orde Reformasi yang dikatakan reformis masih cenderung belum pro-rakyat dan terlihat jelas dalam beberapa produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan kemanusiaan dan sumberdaya alam serta lingkungan hidup.
Terkait dengan masalah tersebut diatas, prilaku birokrasi didalam jajaran administrasi negara sejauh ini terlihat mendapatkan pengaruh kuat dari kokohnya pembangunan paradigma dari masa rezim yang lalu tersebut. Yaitu meminggirkan kepentingan rakyat (unsur sosial dalam konsep Segitiga Munasinghe). Dikaitkan dengan perkembangan efektifitas pemberantasan pembalakan liar/illegal loging di Indonesia, maka tidak terlepas dari interaksi politik-ekonomi-sosial dengan seluruh faktor determinan tersebut diatas. Ketika pasar adalah semata keramaian dalam percaturan ekonomi yang hanya melibatkan segelintir pelaku semata yang menjalankan fungsinya, yaitu sebagai:
1) Kelompok penguasa dana baik yang bersifat sebagai ‘komprador’ yang menerima titipan dana dari luar negri, maupun penyandang dana dari dalam negri yang diduga sebagai ‘pencuri’ dana publik;
2) Kelompok penguasa stok barang yang sekaligus menguasai jalur distribusinya termasuk mereka yang melakukan aktivitas penimbunan, pengijonan, dan penyelundupan;
3) Kelompok spekulan, baik yang bermain ditingkat pasar input maupun output serta yang bermain dipasar uang dan pasar modal (Swasono dalam Radhi, 2009).
[1] Rahardjo (2002) dalam Amin (2007)
[2] Saragih (1985) dalam Amin (2007)
[3] Aviliani (Januari, 2009), diskusi dalam Seminar Launching Mubyarto Institut di Sahid Hotel, Jakarta
[4] Umar Seno Adji (1982), Guru Besar Hukum Pidana UI, dalam in depth interview kuliah Hukum Pidana, di FH-Universitas Trisakti Jakarta
[5] Susilo Bambang Yudhoyono, Disertasi Doktor EP-IPB, 2004
[6] Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia Unggul: Kumpulan Pemikiran dan Tulisan Pilihan.
2008. Jakarta: Bhuana Ilmu Polpuler, hal 68-69