Sampai detik ini tertanggal 7 Februari 2012, saya yang bernama Marissa Grace Haque Fawzi masih merasakan serangan cyber-bully dari yang diduga bernama Dee Kartika Djumadi. Saya sedang berpikir keras "harus diapakan" orang yang bersangkutan tersebut agar berdampak jera. Karena sejujurnya saya dan keluarga merasa sangat terganggu! Allahu Akbar...
Untuk mengetahui siapa yang bersangkutan pelaku teror cyber tersebut (diduga bernama Dee Kartika Djumadi) dan kualitas manusia seperti apa dirinya itu, alangkah baiknya kita semua pelajari informasi dari seorang sahabat bernama Mas Sony Kusumasondjaja FORUM KAHMI di DIKTI, sebagai berikut di bawah ini:
Subject: tentang kartika dee
 Mungkin     sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang  melibatkan    artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa  Haque.    Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment  Indonesia    tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat  perang di    media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta  istrinya,  Memes,   dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak  banyak yang  paham,   bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan  Marissa  Haque yang   dituding oleh seseorang di media Twitter juga.  Tuduhan  tersebut   mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program  S3 IPB  sebenarnya   tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah,  masalah menjadi   berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke   konflik pribadi  antara  Marissa Haque dengan keluarga Addie MS.
Mungkin     sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang  melibatkan    artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa  Haque.    Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment  Indonesia    tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat  perang di    media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta  istrinya,  Memes,   dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak  banyak yang  paham,   bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan  Marissa  Haque yang   dituding oleh seseorang di media Twitter juga.  Tuduhan  tersebut   mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program  S3 IPB  sebenarnya   tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah,  masalah menjadi   berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke   konflik pribadi  antara  Marissa Haque dengan keluarga Addie MS. Bagi yang ingin memahami kronologis kisahnya, silakan mengunjungi/membaca notes yang saya tulis di Facebook saya yang berjudul "Sebuah Catatan tentang Perang Kamseupay".
Nah, di sini saya tidak akan mengupas masalah kehidupan selebritis kita yang memang seringkali tidak bisa masuk dalam nalar saya. Saya ingin menyoroti soal tuduhan kepada Marissa Haque tentang disertasinya; lebih tepatnya menyoroti tentang "siapa sebenarnya yang melontarkan tuduhan tersebut".
Hal ini bisa teman-teman baca dan lihat sendiri dalam print-out berbagai situs di Internet yang saya rangkum dan saya attach di postingan ini. Pengakuan sebagai lulusan PhD dari Amsterdam ini cukup aneh, karena pada April 2007, beliau masih menyebut dirinya sedang “menyelesaikan Program Doktoral di bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa4”), dan pada Februari 2009, beliau juga menyatakan “masih menyelesaikan disertasi di S3 Komunikasi UI” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa5”).
Bahkan, di website School of Economics Universiteit van Amsterdam (http://ase.uva.nl/aseresearch/object.cfm/objectid=DA8E9304-C6EB-4172-AD771508C05A11DB) yang menampilkan daftar nama lulusan PhD yang berhasil mempertahankan disertasinya di bidang Ekonomi Makro di universitas tersebut sejak tahun 2005 sampai dengan 2011, tidak tercatat nama Dyah Kartika Rini Djoemadi. Informasi dari rekan Aprina Murwanti (University of Wollongong, Australia), DIKTI juga tidak pernah mencatat penyetaraan ijazah luar negeri dari Belanda – dalam bidang ilmu apapun – atas nama Dyah Kartika Rini Djoemadi, (silakan lihat http://ijazahln.dikti.go.id/v4/detail_negaraptr.php?kodept=604017&page=1 ).
Pertanyaan yang mengusik benak saya adalah:
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
Proses korespondensi antara rekan Buni Yani dan Kartika Djoemadi – di awal-awal munculnya “pertanyaan” tentang benar tidaknya gelar PhD tersebut, bisa dilihat di attachment “Korespondensi Email Dee Kartika”.
 Dengan     rentetan kejadian ini, mau tidak mau, wajar saja jika muncul    kecurigaan  saya bahwa telah terjadi kecurangan atau mungkin kejahatan    akademis –  menggunakan gelar akademis tanpa hak. Saya sebagai seorang    insan  akademik merasa sangat terusik dengan hal ini. Yang membuat  saya   jadi  gelisah adalah bahwa ada seseorang yang aktif di berbagai    organisasi  kemasyarakatan, aktif di Partai Politik, dan aktif pula    menjadi tenaga  pengajar dan peneliti yang menggunakan gelar PhD    tersebut tanpa hak.  Dan, sayangnya, beberapa orang yang mengetahui    kasus ini memilih untuk  berdiam diri – ada yang beralasan “tidak mau mengorek-ngorek aib orang”, ada yang beralasan “demi persahabatan”, dan lain-lain.
Dengan     rentetan kejadian ini, mau tidak mau, wajar saja jika muncul    kecurigaan  saya bahwa telah terjadi kecurangan atau mungkin kejahatan    akademis –  menggunakan gelar akademis tanpa hak. Saya sebagai seorang    insan  akademik merasa sangat terusik dengan hal ini. Yang membuat  saya   jadi  gelisah adalah bahwa ada seseorang yang aktif di berbagai    organisasi  kemasyarakatan, aktif di Partai Politik, dan aktif pula    menjadi tenaga  pengajar dan peneliti yang menggunakan gelar PhD    tersebut tanpa hak.  Dan, sayangnya, beberapa orang yang mengetahui    kasus ini memilih untuk  berdiam diri – ada yang beralasan “tidak mau mengorek-ngorek aib orang”, ada yang beralasan “demi persahabatan”, dan lain-lain.Saya juga tidak paham, bagaimana Kemendiknas atau Dikti/Ditnaga atau Universitas Indonesia atau Universitas Paramadina atau lembaganya Paramadina Public Policy Institute akan merespon dugaan pemalsuan gelar ini.
Masa sih, mereka tidak tahu keributan yang terjadi di media Twitter selama hampir dua minggu ini..? Ataukah ini memang bukanlah kejahatan akademik sebagaimana yang saya kira selama ini..? Apakah memang benar, bahwa seseorang boleh saja dan sah-sah saja menyematkan atribut PhD (tanpa harus benar-benar memperolehnya secara sah) - lalu menggunakan atribut itu untuk tampil sebagai pembicara, sebagai peneliti di sebuah lembaga riset, sebagai dosen, dll..? Saya hanya berpikir, kalau kejadian seperti ini kita diamkan selamanya, niscaya hal seperti ini akan menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Betapa mengerikannya apabila hal itu betul-betul membudaya di dunia pendidikan Indonesia.
Di sini, saya tidak bermaksud untuk mengorek-ngorek aib yang bersangkutan. Saya juga tidak berminat untuk jadi pahlawan kesiangan. Saya tidak kenal beliau secara personal, dan saya juga tidak kenal Marissa Haque yang sempat menjadi “musuh online” beliau. Posting ini saya tujukan di milis ini (1) sebagai bentuk keprihatinan saya akan kejadian yang sangat menyedihkan ini, (2) sebagai upaya “perlawanan” atas kejahatan akademis yang mungkin telah terjadi tapi tidak terlalu diperhatikan, dan (3) sebagai upaya permintaan tolong seandainya rekan-rekan Diktiers semua memiliki pandangan atau ide tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi masalah ini.
Demikian informasi ini saya sampaikan, semoga bermanfaat, dan menggugah kita semua untuk berbuat sesuatu. Maaf apabila ada rekan-rekan yang kurang berkenan dengan posting ini. Maaf juga karena saya terpaksa melampirkan attachment yang ukurannya sangat besar. Mohon dimaklumi, karena meskipun isinya adalah file yang saya cetak dari Internet, sebagian besar file tersebut sudah susah untuk diakses (ada yang sudah dihapus, dll), terutama kalau kita tidak terlalu menguasai trik-trik pencarian menggunakan search engine.
Terima kasih

 
 
 
 
 





 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
