Forum Previlegiatum untuk Illegal Logging di Provinsi Riau
(Tulisan Bersambung Hukum: 1)
Sumberdaya hutan dengan potensi manfaatnya yang bersifat tangible dan intangible memberikan kontribusi penting terhadap pembangunan dan kehidupan masyarakat, misalnya dalam menyediakan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan jasa lingkungan. Nilai manfaat hutan tidak hanya nilai manfaat ekonomi, tetapi juga memiliki nilai manfaat sosial dan perlindungan ekosistem. Astana
et.al. (2002) menyatakan bahwa peranan ekonomi kehutanan ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan dalam peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan nilai tambah serta peningkatan pertumbuhan ekonomi. Devisa negara dari produk hasil hutan selama periode 1991-2001 berkisar US$ 3,46-5,43 miliar dengan laju peningkatan sebesar 5-10% per tahun yang dihitung berdasarkan nilai ekspornya (Santoso, 2008). Lebih lanjut Santoso (2008) menyebutkan bahwa nilai devisa produk hasil hutan pada periode tahun 1990-1997 mencapai 30% dari nilai ekspor industri nasional, sedangkan pada saat tahun 1998-2002 nilai devisa hutan sebesar 12% dari total produk industri. Selain nilai ekonomi tersebut, sumberdaya hutan juga memberikan kontribusi dalam menyediakan jasa lingkungan yang nilai keberadaan dan fungsinya sangat penting dalam menyangga kehidupan masyarakat misalnya jasa lingkungan air, penyerapan karbon, dan rekreasi alam.
Hutan Indonesia merupakan bagian penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan bangsa Indonesia semata namun juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Luas kawasan hutan di 30 provinsi di Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada tahun 2007 mencapai 112,3 juta ha, sedangkan luas kawasan hutan di tiga provinsi lainnya (Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Tengah) masih mengacu kepada Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) mencapai 24,76 juta ha yang terdiri dari 15,30 juta ha kawasan hutan di Kalimantan Tengah dan 9,46 juta ha kawasan hutan di Riau dan Kepuluan Riau (Badan Planologi Nasional, 2007). Hutan ditiga wilayah tersebut saat ini berada dalam kondisi sangat kritis. Said (2008) mengemukakan, bahwa kawasan hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai hingga 59, 62 juta ha yang disebabkan oleh aktifitas pembalakan liar/illegal logging dan konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit dan karet juga kebakaran hutan. Laju degradasi hutan di Indonesia pada periode 1982-1990 mencapai 0,9 juta ha/tahun, periode 1990-1997 mencapai 1,8 juta ha/tahun, periode 1997-2000 mencapai 2,83 juta/tahun, serta periode 2000-2006 mencapai 1,08 juta ha/tahun.
Akibat degradasi lahan dan deforestasi yang terjadi, hutan primer yang masih tersisa di Indonesia diperkirakan hanya tinggal 28% dari luas hutan yang ada. Skephi (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, penutupan lahan berhutan di Jawa tinggal 19%, Kalimantan 19%, dan Sumatera 25%, sehingga jauh di bawah angka 30%, yakni luas hutan minimal di suatu pulau yang disyaratkan oleh undang-undang.
Sedangkan hutan tersisa yang berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71%), Sulawesi (43%), dan Bali (22%). Salah satu penyebab utama dari terjadinya degradasi lahan dan deforestasi tersebut adalah praktek pembalakan liar/
illegal logging yang terjadi hampir merata disemua wilayah Indonesia, selain karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan kebakaran hutan.
Semakin berkurangnya tutupan hutan mengakibatkan sebagian besar kawasan wilayah Republik Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis (ecological disaster) – seperti bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Media Indonesia (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dari Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia akibat kerusakan hutan dengan 2.022 korban jiwa dan miliaran kerugian dalam rupiah. Sebesar 85% dari seluruh bencana yang terjadi tersebut merupakan bencana banjir dan tanah longsor. Sementara itu menurut data Walhi, selama 2006-2007 tercatat telah terjadi 840 kejadian bencana alam yang telah menelan korban 7.303 jiwa meninggal dan 1.140 dinyatakan hilang. Sedikitnya tiga juta orang menjadi pengungsi dan 750 ribu unit rumah rusak atau terendam banjir. Selain itu, keanekaragaman kekayaan flora dan fauna Indonesia (bio diversity) semakin berkurang setiap tahunnya dan mengakibatkan rakyat yang tinggal di sekitar hutan dimana selama hidup mereka menjadikan hutan sebagai tempat penyedia makanan dan obat-obatan oleh karena dampak kegiatan pembalakan liar/illegal logging maka tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia jadi semakin sempit.
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang laju degradasi hutan akibat pembalakan liar/illegal logging tergolong tinggi. Selama dua puluh tahun terakhir kerusakan hutannya mencapai 3,7 juta ha dari 8.598.757 ha penutupan lahan berupa hutan. Kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 390.000 ha, kawasan suaka alam dan pelestarian alam (KSPA) daratan seluas 410.908 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.960.128 ha, dan hutan produksi tetap (HP) seluas 1.873.632 ha. Saat ini kondisi hutan alam di Provinsi Riau sudah sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan dimana luasan hutan alam yang tersisa sekitar 1 juta ha (Bappedalda Riau, 2005).
Data FWI/GFW (2001) menunjukkan bahwa hutan di Provinsi Riau yang terdegradasi mencapai 2.671.417 dan yang sudah gundul mencapai 1.705.401 ha. Proses deforestasi dan degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 juta ha. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 ha) dari luas daratan Provinsi Riau 8.225.199 ha (8.265.556,15 ha setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2.743.198 ha (33% dari luas daratan Riau). Dalam kurun waktu tersebut Provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alamnya seluas 160.000 ha/tahun (Walhi, 2007). Dengan demikian selama 24 (duapuluh empat) tahun kawasan hutan Provinsi Riau mengalami degradasi sebesar 57%. Diperkirakan tingkat kerusakan sesudah tahun 2004 dan 2005 seluas 200.000 ha. Dengan kondisi tersebut, diperkirakan kawasan hutan Riau tahun 2015 hanya tinggal seluas 476.233 ha (FKPMR, 2007). Data citra satelit landsat Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2007 menunjukkan bahwa hutan lindung di Riau yang rusak mencapai 108.000 ha atau sekitar 50%. Kawasan yang rusak tersebut terdapat di 14 hutan lindung di Provinsi Riau. Kerusakan terparah dialami hutan lindung di Kabupaten Rokan Hulu yang tidak berbentuk hutan lagi. Kerusakan di kabupaten ini mencapai 41.288 ha dari 67.573 ha hutan lindung yang ada.
Konversi skala besar lahan hutan menjadi dua peruntukan: (1) yakni untuk pembangunan perkebunan besar kelapa sawit yang saat ini telah mencapai 2,7 juta ha, dengan target pertambahan luas 8,02% pertahun sampai mencapai luas 3,1 juta ha benar-benar merupakan faktor utama penyebab kerusakan terbesar hutan alam di Provinsi Riau; dan (2) pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sebagiannya dipasok dari hutan alam untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku bubur kertas (pulp) dan kertas PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dan PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper). Provinsi Riau merupakan pusat percepatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) secara nasional. Lebih dari 50% program percepatan HTI berlokasi di provinsi tersebut adalah dengan luasan 1,6 juta ha. Dari luas hutan produksi di Riau yang mencapai 4,1 juta ha, hampir 40% adalah merupakan areal HTI. Hampir 70% dari deforestasi merupakan areal hutan produksi yang secara hukum dapat dikonversi untuk kepentingan budi daya non-kehutanan. Data di Departemen Kehutanan itu menunjukkan luas areal hutan produksi yang dapat dikonversi di wilayah Riau dalam kondisi masih berhutan mencapai angka 982.620 ha (FKPMR, 2007). Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, sumberdaya hutan menjadi alternatif sumber pendapatan daerah. Apabila tidak dikendalikan, dari segi perlindungan hutan tentunya sangat mengkhawatirkan, karena hal tersebut berarti daerah dapat mengeksploitasi sumberdaya hutan sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Berbagai perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah didorong oleh adanya keinginan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya hutan yang ada di daerahnya. Adanya kebijakan perizinan di daerah yang tidak sesuai dengan peraturan pengelolaan hutan di atasnya mencerminkan adanya tumpang tindih kebijakan antara pemerintah dan pemerintah daerah atau tarik ulur kewenangan yang disebabkan oleh adanya inkonsistensi atau insinkronisasi peraturan antara pusat dan daerah. Kondisi ini diperparah dengan adanya perbedaan kepentingan yang berdampak pada perbedaan orientasi kebijakan antara pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga akan menghambat proses penegakan hukum terhadap kejahatan pembalakan liar/illegal logging.
Berdasarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Polda Riau telah melakukan operasi pemberantasan pembalakan liar/illegal logging di wilayah Provinsi Riau. Upaya penegakan hukum tersebut di awal tahun 2007 menimbulkan polemik yang berujung antiklimaks dengan dikeluarkannya SP-3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) pada 23 Desember 2008 oleh Kepolisian Daerah Riau dibawah kepemimpinan Kapolda yang berbeda. Sehingga dari pihak Polri sebagai Alat Negara Penegak Hukum sendiri terkesan telah terjadi internal dispute oleh karena diduga terjadi perubahan instruksi dari Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan cq Presiden Republik Indonesia.
Kasus ini pada awal operasi tim
Illegal Logging Mabes Polri dan Departemen Kehutanan diawal tahun 2007, menyeret 14 (empat belas) perusahaan perkayuan milik PT. Riau Andalan
Pulp and Paper (RAPP) dan PT. Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Tujuh buah perusahaan datang dari kelompok PT. Riau Andalan
Pulp and Paper (RAPP); yaitu PT. Madukoro dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM) di Kabupaten Pelalawan, PT. Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI), PT. Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT. Mitra Kembang Selaras (MKS) di Kabupaten Indragiri Hulu, PT. Merbau Pelalawan Lestari (MPL) dan PT. Nusa Prima Manunggal (NPM). Serta tujuh perusahaan dari kelompok PT. IKPP yaitu; PT. Arara Abadi, PT. Bina Duta Laksana (BDL) PT. Rimba Mandau Lestari (RML), PT. Inhil Hutan Pratama (IHP), PT. Satria Perkasa Agung (SPA), PT. Wana Rokan Bonay Perkasa (WRBK), dan PT. Ruas Utama Jaya (RUJ) ditetapkan sebagai tersangka dalam pembalakan liar/
illegal logging di Provinsi Riau. Proses pemberkasan perkara selama hampir dua tahun berproses. Berdasarkan keterangan tim ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan pada akhirnya dibulan Desember 2008 dianggap kurang cukup bukti perbuatan melawan hukumnya. Sehingga harus diputuskan untuk dikeluarkannya SP-3 atas 13 dari keseluruhan 14 berkas kasus yang ditangano Polda Riau yang menyangkut dugaan delik pidana pembalakan liar/
illegal logging tersebut diatas. Kesimpulan tim ahli pertama dari KLH menyatakan bahwa di Provinsi Riau selama ini tidak ada kerusakan lingkungan. Sementar tim ahli kedua dari Departemen Kehutanan menyimpulkan bahwa 13 dari 14 perusahaan tersebut mengantongi izin – artinya selama ini mereka telah melakukan seluruh upaya yang sebelumnya diduga adalah aktivitas pembalakan liar/
illegal logging oleh Polda Riau yang akhirnya dinyatakan sah berdasarkan hukum. Kecuali PT. Ruas Utama Jaya (RUJ) anak perusahaan PT. IKPP yang diangap secara nyata tidak memiliki izin dan memenuhi unsur pembalakan liar/
illegal logging karena membangun kanal (parit) didalam hutan lindung yang terbukti sah melakukan unsur perbuatan melawan hukumnya (
onrechmatigheids beleid). Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa pada kasus Provinsi Riau ini telah terjadi permasalahan inkonsistensi dan insinkronisasi antara kebijakan perlindungan hutan dengan pengusahaan hutan di Indonesia. Dari sana mulai dapat diukur belum terimplementasi dengan baik dan efektifnya seluruh kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan pemberantasan pembalakan liar/
illegal logging didalam sebuah kesatuan yang holistik dan integrated.
Tingkat degradasi dan deforestasi hutan di wilayah tersebut sudah sangat memprihatinkan serta telah mendatangkan bencana ekologis. Diperlukan upaya terobosan hukum khusus yang harus dilakukan oleh elit pemegang kekuasaan negara dan pemerintahan tertinggi negeri ini. Terkait dengan hal tersebut diatas, apabila peraturan perundang-undangan yang bersifat
lex specialis tidak mampu menanggulangi delik pidana tertentu semacam masalah pembalakan liar/
illegal logging ini, maka pemerintah dalam hal ini Kepala Pemerintahan yang juga sekaligus Kepala Negara yaitu Presiden RI dapat melakukan intervensi apabila para pembantunya yaitu Alat Negara Penegak Hukum yaitu Polri dan Pengacara Negara yaitu Kejaksaan telah memberlakukan Asas
Subsidiaritas dari UU Kehutanan No. 49 Tahun 1999 menjadi penggunaan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk upaya implementasi Asas
Ultimum Remidium dan Asas
Premum Remidium namun masih juga belum berhasil. Itulah saatnya dengan alasan “kondisi yang genting” dan “telah terjadi keresahan yang sangat luas dan merata ditanah air”, Kepala Negara yang juga sekaligus Kepala Pemerintahan dapat menggunakan hak prerogatifnya sebagai seorang Presiden untuk melahirkan usulan Perpu (Peraturan Pengganti Undang-undang) yang dilakukan bersama dan atas persetujuan DPR RI dan atau sekaligus dengan memerintahkan dikeluarkannya Kepres (Keputusan Presiden) yang besifat
beshicking/terminate/pemutus. Bukan lagi sejenis Inpres (Instruksi Presiden) seperti didalam hal Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Republik Indonesia, yang sudah cukup baik namun terbukti tidak efektif. Dalam kenyataannya, sebuah inpres saja tidak cukup karena tidak memiliki sifat
beschicking/terminate/pemutus
[1] itu tadi. Karena tidak adanya unsur sifat tersebut itulah karenanya diperlukan sebuah terobosan hukum lainnya. Hal seorang Presiden selaku Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan mengeluarkan Kepres dan mengusulkan Perpu dimungkinkan oleh UUD 45. Karena dampak negatif pembalakan liar/
illegal logging ini sangat mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan hidup dan sudah menimbulkan keresahan tinggi dimasyarakat luas. Terkait dengan hal tersebut Presiden selanjutnya dapat meminta kepada lembaga-lembaga negara di bidang penegakan hukum untuk menindak tegas pelaku pembalakan liar/illegal loging langsung dengan pengenaan pasal pidana terkait deforestasi dan degradasi lingkungan hidup yang dikeluarkannya dengan pengawasan terbuka bagi umum dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat luas Indonesia dengan bantuan sistem TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Selain itu pada tatanan below the line pasca diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka terkait dengan kebijakan-kebijakan lainnya dari hukum positif Indonesia, demi menunjang pemberantasan pembalakan liar di Provinsi Riau perlu koordinasi penegakan hukum secara efisien dan efektif terkait dengan telah dikeluarkannya Inpres 4 Tahun 2005 tadi memberlakukan law enforcement yang terbuka serta berkeadilan untuk menjerat pelaku delik pidana tersebut dengan perlibatan aktif seluruh anggota DPRD tingkat satu dan dua (Provinsi dan Kabupaten/Kota) termasuk elemen masyarakat luas didaerah setempat. Jika selama ini kendala utama yang dihadapi pihak Kejaksaan diakui terkait dengan sulitnya pengenaan pasal-pasal yang pas bagi pembuktian perbuatan melawan hukum (onrechtmatigheids beleid), dan dipihak lainnya Polri juga mengalami kesulitan didalam melakukan penyidikan para oknum Kepala Daerah maupun Menteri yang telah terindikasi melakukan delik pidana lingkungan hidup dan pembalakan liar/illegal logging tersebut, dimana mereka tidak dapat tersentuh hukum karena selalu bersembunyi dibalik kekuatan laten ‘Menunggu Izin Presiden’ (Forum Previlegiatum). Maka pada level inilah seorang Presiden yang bertanggung jawab wajib memberikan intervensi dengan membiarkan mereka para oknum birokrat tersebut berhadapan langsung dengan penegakan hukum positif Indonesia tanpa pilih kasih – equality before the law – tanpa semata mempertimbangkan kepentingan kemenangan politik jangka pendek juga sekaligus guna memperpendek jalur aktivitas oknum pelaku praktek jaring mafia peradilan Indonesia. Sehingga izin Presiden yang selama ini diduga sebagai ‘lubang persembunyian’ (bunker) para pelaku berbagai delik pidana mendapatkan dampak jera untuk kemudia tidak perlu terjadi lagi dikemudian hari atas hal yang sama.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka diperlukan suatu kajian yang konprehensif dan sistemik atas faktor-faktor apa saja yang selama mempengaruhi terjadinya aktivitas pembalakan liar/
illegal logging dan dampaknya terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial termasuk siapa saja aktor dan stakeholder yang dapat memberikan kontribusi signifikan bagi efektifnya percepatan pemberantasan pembalakan liar/illegal loging yang sangat meresahkan ini. Kajian kebijakan dan sistem hukum pemberantasan pembalakan liar/
illegal logging ini menjadi signifkan untuk dikaji sebagai pendekatan yang diharapkan dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup dengan fokus pada sumberdaya hutan tropis di Indonesia sebagai hulu dari masalah-masalah yang terjadi dihilir dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan/
sustainable development. Termasuk pengembangan kebijakan dan perbaikan sistem hukum serta implementasinya (
law enforcement) atas para pelaku delik pidana lingkungan hidup dan pembalakan liar/
illegal logging.
[1] Anna Erliana (2005), Guru Besar Hukum Tata Negara, Pasca Sarjana FH-Universitas Indonesia, Saksi Ahli Peradilan TUN (Tata Usaha Negara)