Kita sangat faham bahwa laju tak terkendali deforestasi terjadi bukan sekedar dikarenakan kelalaian negara didalam memberantas praktik illegal logging di Indonesia. Namun juga sebagian besar dikarenakan projek sawitisasi demi mengajar the economic growth (pertumbuhan ekonomi). Oleh karenanya, maka tak sedikit wilayah konservasi hutan tropis Indonesia yang tak luput menjadi sasaran.
Hak atas Tanah di Indonesia
Di Istana Kuala Lumpur, Malaysia beberapa saat yang lalu diadakan panel international workshop tentang Hak atsa Tanah yang digelar salam rangka Roundtable on Sustainable Palm Oil. Seorang warga desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalteng datang bersama kedua temannya ke Malaysia. Mereka sedang berjuang melawan kedzoliman PT Surya Sawit Sejahtera anak perusahaan United Plantation – perusahaan perkebunan milik Malaysia yang juga sebagai anggota dari Roundtable on Sustainable Palm Oil tersebut. Mereka bertiga pernah terpenjara dikarenakan memperjuangkan hak atas tanah milik mereka yang dibuldozer oleh aparat yang disewa oleh perusahaan berkapital besar. Mereka mengatakan juga bahwa kedatangan mereka mewakili saudara-saudara mereka dari Kalbar dan Kalsel.
Masyarakat Desa Hutan
Sekita semingguan yang lalu pada running text di Metro TV, Menhut Zulkiefli Hasan mengatakan bahwa terdapat sekitar 70.000-an desa berada dihutan dan sekita hutan diseluruh Indonesia. Dapat dibayangkan betapa banyak hidup dan kehidupan masyarakat yang tergantung pada hutan tropis yang seharusnya lestari tersebut. Banyak kasus dimana selama sekitar tiga generasi masyarakat desa hutan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada hutan disekitar mereka tinggal tiba-tiba harus’dibersihkan’ oleh perusahaan plantation terkait. Berjuang hingga forum internasional menjadi pilihan mereka yang merasa telah menjadi korban ketidak adilan ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
LSM dan Rakyat Berjihad
Dibantu oleh LSM lokal, seperti Gemawan dan Kontak Rakyat Borneo, LSM Nasional Sawit Watch warga terdzolimi ini melanjutkan jihad meraka ke IFC (International finance Corporation) yang merupakan lemabag keuangan milik World Bank. Langkah yang dilakukan ini mereka laksanakan dikarenakan hamper seluruh perusahaan perkebunan sawit yang ada di Indonesia masuk dalam kategori C yaitu perusahaan yang dianggap tidak akan berdampak buruk pada kehidupan social dan lingkungan. Dimana kenyataannya adalah sebaliknya, bahwa perusahaan perkebunan sawit itu melakukan tindak pidana social dan lingkungan.
Upaya mereka alhamdulillah berhasil, dengan dikirimkannya oleh IFC para CAO (Compliance Advisor Ombudsman). Yaitu, sebuah lembaga independen yang menangani keluhan kredit yang disalurkan oleh IFC, CAO kemudian memverifikasi keluhan yang disampiakan oleh warga dengan datng langsung kewilayah yang dianggap bermasalah dimana perusahaan perkebunan sawit tersebut beroperasi. Hasil positif yang diperoleh menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain: (1) pemilik capital bersar perusahaan sawit meminta maaf telah melakukan pembukaan alam tanpa persetujuan warga; (2) tanah yang telah dibuka dikembalikan lagi kepada masyarakat; (3) hutan yang belum ditebang tidak boleh dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit; (4) wilayah yang telah terlanjur ditanami sawit akan diserahkan masyarakat dalam bentuk kebun plasma.
Faktor Eksternalitas Lembaga Donor
Hasil dari jihad bahu membahu rakyat plus konsorsium LSM ini termasuk fenomenal dikarenakan pada September 2009 lalu ber-output suspense IFC atas beberapa kredit mereka kepada para pengusaha perkebunan sawit yang pernah dipermasalahkan tersebut diatas. Mereka menganggap ada mekanisme yang salah dalam penyaluran kredit untuk “seluruh” perkebunan kelapa sawit di Indonesia.